Senin, 15 September 2008

BENARKAH SUNDALAND ITU ATLANTIS YANG HILANG?

(Pandangan dari Sisi Geologi dan Peluang dari Spekulasi Ilmiah)
Oleh : Oki Oktariadi ( oki@plg.esdm. go.id )

"Peradaban Atlantis yang hilang" hingga kini barangkali hanyalah
sebuah mitos mengingat belum ditemukannya bukti-bukti yang kuat
tentang keberadaannya. Mitos itu pertama kali dicetuskan oleh
seorang akhli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 - 347 SM),
dalam bukunya "Critias dan Timaeus". Disebutkan oleh Plato bahwa
terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya
dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa superior;
benua itu kemudian hilang, tenggelam secara perlahan-lahan karena
serangkaian bencana, termasuk gempa bumi.

Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi
dongeng. Tetapi sejak abad pertengahan, kisah Atlantis menjadi
populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan Barat secara diam-diam meyakini
kemungkinan keberadaannya. Diantara para ilmuwan itu banyak yang
menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan ada
yang menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur
Tengah. Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan
tetapi, kebanyakan peneliti itu tidak memberikan bukti atau telaah
yang cukup. Sebagian besar dari mereka hanya mengira-ngira. .

Hanya beberapa tempat di bumi yang keadaannyua memiliki persayaratan
untuk dapat diduga sebagai Atlantis sebagaimana dilukiskan oleh Plato
lebih dari 20 abad yang lalu. Akan tetapi Samudera Atlantik tidak
termasuk wilayah yang memenuhi persyaratan itu. Para peneliti masa
kini malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke
semenanjung Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang
dan merupakan awal peradaban manusia
.
Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para
peneliti di dunia untuk membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah
sepanjang masa. Apakah pandangan geologi memberi petunjuk yang kuat
terhadap kemungkinan ditemukannya Atlantis yang hilang itu? Apabila
jawabannya negatif, apakah peluang yang dapat ditangkap dari
perdebatan ada tidaknya Atlantis dan kemungkinan lokasinya di wilayah
Indonesia?.

PENDAHULUAN

"Mitos" atau cerita tentang benua Atlantis yang hilang pertama kali
dicetuskan oleh seorang filosof terkenal dari Yunani bernama Plato
(427 - 347 SM) dalam bukunya berujudl Critias and Timaeus. Penduduknya
dianggap dewa, makhluk luar angkasa atau bangsa superior. Plato
berpendapat bahwa peradaban dari para peghuni benua Atlantis yang
hilang itulah sebagai sumber peradaban manusia saat ini..

Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia
Tenggara sebagai kawasan 'pinggiran'. Kawasan yang kebudayaannya dapat
subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak
difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di
Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang
dianut saat ini yang mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir
yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu
mempengaruhi migrasi spesies manusia.

Jaman Es terakhir ini dikenal dengan nama periode Younger Dryas. Pada
saat ini, manusia telah menyebar ke berbagai penjuru bumi berkat
ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang lalu. Dalam kurun
empat ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung halamannya
di padang rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput purba
yang kini dikenal sebagai Afrasia.
Padang rumput purba ini membentang dari pegunungan Kenya di selatan,
menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan Ural di utara. Jaman Es
tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya terjadi di bagian
paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik justru
menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia
betah berada di padang rumput Afrasia ini.

Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua
Atlantis yang hilang, mereka mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di
belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di
sekitar Timur Tengah sekarang. Penelitian untuk menemukan sisa
Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut. Namun di
akhir dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang
muluai muncul berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu:
Oppeheimer (1999) dan Santos (2005).

KONTROVERSI DAN REKONTRUKSI OPPENHEIMER

Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya
buku Eden The East (1999) oleh Oppenheimer, Dokter ahli genetik yang
banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan
Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau
dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata
dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus
yang diserap dari kata Persia "Pairidaeza" yang arti sebenarnya adalah
Taman.
Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah
Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari
Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi,
osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan
bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur
peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir
besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu
ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.

Gambar 1. Buku Eden The East
(Oppenheimer, 1999)

Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es
(Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu,
muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang.
Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia
menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika
bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan
banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.

Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar
yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang
lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga
5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah
dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland
malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan,
Jawa, Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup
padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan
nelayan.

Bagi Oppenheimer, kisah 'Banjir Nuh' atau 'Benua Atlantis yang hilang'
tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam
dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini
juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional, namun belum
ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.

BENUA ATLANTIS MENURUT ARYSO SANTOS

Kontroversi dari Oppenheimer seolah dikuatkan oleh pendapat Aryso
Santos. Profesor asal Brasil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang
sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut
Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama
30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally
Found, The Definitifve Localization of Plato's Lost Civilization
(2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan,
seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara
bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah
Sundaland (Indonesia bagian Barat)..

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang
membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia bagian
Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur.
Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah
itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera
yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik.

Argumen Santos tersebut didukung banyak arkeolog Amerika Serikat
bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar
bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan
Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang
banjir besar seiring berakhirnya zaman es.

Gambar 2. Wilayah Sundaland (Indonesia bagian Barat dalam buku Santos (2005)

Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan
gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es
yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh
Lapisan-lapisan Es. Maka tenggelamlah sebagian benua tersebut.

Santos berpendapat bahwa meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi
secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan
gunung api yang dimaksud di antaranya letusan gunung Meru di India
Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba,
dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling
dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang
memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau
(Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda
(Catatan : tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan untuk sementara
dikutip di sini sebagai apa yang diketahui Santos).

Berbeda dengan Plato, Santos tidak setuju mengenai lokasi Atlantis
yang dianggap terletak di lautan Atlantik. Ilmuwan Brazil itu
berargumentasi, bahwa letusan berbagai gunung berapi menyebabkan
lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya
bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut
membebani samudera dan dasarnya sehingga mengakibatkan tekanan luar
biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua.
Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh
gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan
gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Catatan : pernyataan Santos ini disajikan seperti apa adanya dan tidak
merupakan pendapat penulis.

Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos
sependapat yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah
Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik
Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di
Indonesia, diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar,
Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani.
Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Dalam usaha mengemukakan pendapat, tampak Plato telah melakukan dua
kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar.
Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera
Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh para akhli
Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan
bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah
semena-mena ada peribahasa yang berkata, "Amicus Plato, sed magis
amica veritas." Artinya,"Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih
senang kepada kebenaran."

Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan
utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan
tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang
masa.

PANDANGAN GEOLOGI

Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua
Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut
pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng dan kejadian zaman es.

Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng
kontinental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia
Lautan Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan
fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen,
letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di
timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi
dari busur kepulauan, dan cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949).

Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti
kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Area
paparan Sunda menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah
permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari
Semenanjung Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut
Jawa dan bagian selatan Laut China Selatan.
Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistim
kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia-
Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur
tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan
Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa
Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur
gunungapi (magmatic arc).

Gambar 3. Rekontruksi Tektonik Lempeng di Wilayah Asia Tenggara (Hall,
2002). Garis merah adalah batas wilayah yang dikenal sebagai Sundaland

Rekontruksi tektonik lempeng tersebut akhirnya dapat menerangkan
pelbagai gejala geologi dan memahami pendapat Santos, yang menyakini
Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan anggapan Plato yang
menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu,
timah dan tembaga, seperti terdapatnya mineral berharga tersebut pada
jalur magmatik di Indonesia. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di
dunia yang merupakan produsen timah utama. Salah satunya disebut
Kepulauan Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos dan nama lain
yang menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato
benar, maka Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia.

Selain menunjukan kekayaan sumberdaya mineral, fenomena tektonik
lempeng tersebut menyebabkan munculnya titik-titik pusat gempa,
barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia), dan
banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa,
Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunungapi aktif,
titik-titik gempa bumi dan kompleks patahan yang begitu besar, seperti
sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk
Semangko di Lampung) memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu
besar. Menurut Kertapati (2006), karakteristik gempabumi di daerah
Busur Sunda pada umumnya diikuti tsunami.

Para peneliti masa kini terutama Santos (2005) dan sebagian peneliti
Amerika Serikat memiliki kenyakinan bahwa gejala kerawanan bencana
geologi wilayah Indonesia adalah sesuai dengan anggapan Plato yang
menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang akibat letusan gunung
berapi yang bersamaan.

Pendekatan lain akan keberadaan Benua Atlantis dan awal peradaban
manusia (hancurnya Taman Eden) adalah kejadian Zaman Es. Pada zaman Es
suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan menyebabkan peningkatan
pembentukan es di kutub dan gletser gunung. Secara geologis, Zaman Es
sering digunakan untuk merujuk kepada waktu lapisan Es di belahan bumi
utara dan selatan; dengan definisi ini kita masih dalam Zaman Es.
Secara awam untuk waktu 4 juta tahun ke belakang, definisi Zaman Es
digunakan untuk merujuk kepada waktu yang lebih dingin dengan tutupan
Es yang luas di seluruh benua Amerika Utara dan Eropa.

Penyebab terjadinya Zaman Es antara lain adalah terjadinya proses
pendinginan aerosol yang sering menimpa planet bumi. Dampak ikutan
dari peristiwa Zaman Es adalah penurunan muka laut.. Letusan gunung api
dapat menerangkan berakhirnya Zaman Es pada skala kecil dan teori
kepunahan Dinosaurus dapat menerangkan akhir Zaman Es pada skala
besar.

Gambar 4. Penyebaran es di belahan bumi utara pada masa Pleistosen (USGS, 2005)

Dari sudut pandang di atas, Zaman Es terakhir dimulai sekitar 20.000
tahun yang lalu dan berakhir kira-kira 10.000 tahun lalu atau pada
awal kala Holocene (akhir Pleistocene) . Proses pelelehan Es di zaman
ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan proses ini
berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.

Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada sekarang,
karena banyak air yang tersedot karena membeku di daerah kutub. Kala
itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan Nusantara barat
tergabung dengan daratan Asia Tenggara. Sementara itu pulau Papua juga
tergabung dengan benua Australia.

Ketika terjadi peristiwa pelelehan Es tersebut maka terjadi
penenggelaman daratan yang luas. Oleh karena itu gelombang migrasi
manusia dari/ke Nusantara mulai terjadi. Walaupun belum ditemukan
situs pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi
tempat tinggal manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat
sempit menuju lokasi berikutnya (Hantoro, 2001).

Tempat-tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di
Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya
pada zaman Holosen  6.000 tahun dengan kondisi muka laut  3 m lebih
tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser
ke tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.

Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu
(hasil) hutan lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan
berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan kelompok lain.
Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudera yang sudah lebih
baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu menyeberangi
Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan
astronomi. Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer
beranggapan bahwa
Taman Eden berada di wilayah Sundaland.

Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak porandakan dan mengubur
sebagian besar hutan-hutan maupun taman-taman sebelumnya. Bahkan
sebagian besar dari permukaan bumi ini telah tenggelam dan berada
dibawah permukaan laut, Jadi pendapat Oppenheimer memiliki kemiripan
dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland.

MENANGKAP PELUANG

Pendapat Oppenheimer (1999) dan Santos (2005) bagi sebagian para
peneliti adalah kontroversial dan mengada-ada, tentu hal yang wajar
dalam pengembangan ilmu untuk mendapatkan kebenaran. Beberapa tahun ke
belakang pendapat yang paling banyak diterima adalah seperti yang
dikemukakan oleh Kircher (1669) bahwa Atlantis itu berada di
tengah-tengah Samudera Atlantik sendiri, dan tempat yang paling
meyakinkan adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut
Tengah.

Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung
api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM,
sebuah letusan gunung api yang dahsyat mengubur dan menenggelamkan
kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis menunjukkan bahwa
kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada
zaman itu, namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan dimana
lokasi Atlantis yang sebenarnya. Setiap teori memiliki pendukung
masing-masing yang biasanya sangat fanatik dan bahkan bisa saja
Atlantis hanya ada dalam pemikiran Plato.

Perlu diketahui pula bahwa kandidat lokasi Atlantis bukan hanya
Indonesia, banyak kandidat lainnya antara lain : Andalusia, Pulau
Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia,
Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko,
Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba,
Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, Estremadura dan hasil penelitian
terbaru oleh Kimura's (2007) yaitu menemukan beberapa monument batu
dibawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari
peradaban Atlantis atau Lemuria.

Gambar 5. Monument Batu yang berhasil ditemukan dibawah perairan
Yonaguni, Jepang, (Spiegel Distribution TV, 2000)

PELUANG PENGEMBANGAN ILMU

Adalah fakta bahwa saat ini berkembang pendapat yang menjadikan
Indonesia sebagai wilayah yang dianggap ahli waris Atlantis yang
hilang. Untuk itu kita harus bersyukur dan membuat kita tidak rendah
diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya
adalah merupakan pusat peradaban dunia yang misterius. Bagi para
arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis merupakan obyek menarik
terutama soal teka-teki dimana sebetulnya lokasi benua tersebut dan
karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi dunia. Jika
Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi
salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.

Perkembangan fenomena ini menyebabkan Indonesia menjadi lebih dikenal
di dunia internasional khususnya diantara para peneliti di berbagai
bidang yang terkait. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu
menangkap peluang ini dalam rangka meningkatkan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Peluang ini penting dan jangan sampai
diambil oleh pihak lain.

Kondisi ini mengingatkan pada Sarmast (2003), seorang arsitek Amerika
keturunan Persia yang mengklaim telah menemukan Atlantis dan
menyebutkan bahwa Atlantis dan Taman Firdaus adalah sama. Sarmast
menunjukkan bahwa Laut Mediteranian adalah lokasi Atlantis, tepatnya
sebelah tenggara Cyprus dan terkubur sedalam 1500 meter di dalam air.
'Penemuan' Sarmast, menjadikan kunjungan wisatawan ke Cyprus melonjak
tajam. Para penyandang hibah dana penelitian Sarmast, seperti editor,
produser film, agen media dll mendapat keuntungan besar. Mereka seolah
berkeyakinan bahwa jika Sarmast benar, maka mereka akan terkenal; dan
jika tidak, mereka telah mengantungi uang yang sangat besar dari para
sponsor.

Santos (2005) dan seorang arkeolog Cyprus sendiri yaitu Flurentzos
dalam artikel berjudul : "Statement on the alleged discovery of
atlantis off Cyprus" (Santos, 2003) memang menolak penemuan Sarmast.
Mereka sependapat dengan Plato dan menyatakan secara tegas bahwa
Atlantis berada di luar Laut Mediterania. Pernyataan ini didukung oleh
Morisseau (2003) seorang ahli geologis Perancis yang tinggal di pulau
Cyprus. Ia menyatakan tidak berhubungan sama sekali dengan fakta
geologis. Bahkan Morisseau menantang Sarmant untuk melakukan debat
terbuka. Namun demikian, usaha Sarmat untuk membuktikan bahwa
Atlantis yang hilang itu terletak di Cyprus telah menjadikan kawasan
Cyprus dan sekitarnya pada sauatu waktu tertentu dibanjiri oleh
wisatawan ilmiah dan mampu mendatangkan kapital cukup berasal dari
para sponsor dan wisatawan ilmiah tersebut.

Gambar 6. Peta Atlantis menurut Kircher (1669). Pada peta tersebut,
Atlantis terletak di tengah Samudra Atlantik.

Demikian juga dengan letak Taman Eden, sudah banyak yang melakukan
penelitian mulai dari agamawan sampai para ahli sejarah maupun ahli
geologi jaman sekarang. Ada yang menduga letak Taman Eden berada di
Mesir, di Mongolia, di Turki, di India, di Irak dsb-nya, tetapi tidak
ada yang bisa memastikannya.

Penelitian yang cukup konprehensif berkenaan dengan Taman Eden
diantaranya dilakukan oleh Zarins (1983) dari Southwest Missouri State
University di Springfield. Ia telah mengadakan penelitian lebih dari
10 tahun untuk mengungkapkan rahasia dimana letaknya Taman Eden. Ia
menyelidiki foto-foto dari satelit dan berdasarkan hasil penelitiannya
ternyata Taman Eden itu telah tenggelam dan sekarang berada di bawah
permukaan laut di teluk Persia.

Gambar 7. Taman Eden menurut Zarins (1983)

Hingga saat ini, letak dari Atlantis dan Taman Eden masih menjadi
sebuah kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeologis dan beberapa
teori yang dikemukakan oleh para peneliti, menunjukkan kemungkinan
peradaban tersebut berlokasi di Samudera Pasifik (disekitar Indonesia
sekarang). Ini menjadi tantangan para peneliti Indonesia untuk
menggali lebih jauh, walaupun banyak juga yang skeptis, beranggapan
bahwa Atlantis dan Taman Eden tidak pernah ada di muka bumi ini.

PENUTUP

Peluang pengembangan ilmu sebenarnya telah direalisasikan oleh LIPI
melalui gelaran 'International Symposium on The Dispersal of
Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia
Archipelago, 28-30 Juni 2005 yang lalu. Salah satu tema dalam gelaran
tersebut menyangkut banyak temuan penting soal penyebaran dan asal
usul manusia dalam dua dekade terakhir. Salah satu temuan penting
dari hasil penelitian yang dipresentasikan dalam simposium tersebut
adalah hipotesa adanya sebuah pulau yang sangat besar terletak di Laut
Cina Selatan yang kemudian tenggelam setelah Zaman Es..

Menurut Jenny (2005), hipotesa itu berdasarkan pada kajian ilmiah
seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler.
Salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis jika memang
benar, adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler,
penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa
Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat
kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang
disebut-sebut dalam mitos Plato.

Ketika Zaman Es berakhir, yang ditandai tenggelamnya 'benua Atlantis',
bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru. Mereka lalu
menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang
disinggahinya. Dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun
lampau kebudayaan ini telah menyebar. Kini rumpun Austronesia
menempati separuh muka bumi.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa asal usul
Taman Eden (manusia modern) dan hilangnya benua Atlantis sangat
berkaitan dengan kondisi geologi khususnya aktivitas tektonik lempeng
dan peristiwa Zaman Es. Perubahan iklim yang drastik di dunia,
menyebabkan berubahnya muka laut, kehidupan binatang dan
tumbuh-tumbuhan.

Zaman Es memberi ruang yang besar kepada perkembangan peradaban
manusia yang amat besar di Sundaland. Pada saat itu suhu bumi amat
dingin, kebanyakan air dalam keadaan membeku dan membentuk glasier.
Oleh karena itu kebanyakan kawasan bumi tidak sesuai untuk didiami
kecuali di kawasan khatulistiwa yang lebih panas.

Diantara kawasan ini adalah wilayah Sundaland dan Paparan Sahul serta
kawasan di sekitarnya yang memiliki banyak gunung api aktif yang
memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian keduanya memiliki tingkat
kenyamanan tinggi untuk berkembangnya peradaban manusia.

Adapun wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan berkembangnya
peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk
aapisan es yang tebal. Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki
dari muka laut sekarang.

Wilayah Sundaland yang memiliki iklim tropika dan memiliki kondisi
tanah subur, menunjukkan tingkat keleluasaan untuk didiami.
Kemungkinan pusat peradaban adalah berada antara Semenanjung Malaysia
dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China
Selatan) atau pada Zaman Es tersebut merupakan muara Sungai yang
sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan
sekarang. Anak-anak sungai dari sungai raksasa tersebut adalah
sungai-sungai besar yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau
Kalimantan bagian Barat dan Utara.

Gambar 8. Pola aliran sungai purba di daratan paparan tepian kontinen
Sunda (Hantoro, 2007).

Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa
menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai
terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan
Pulau kalimantan bagian Selatan.
Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah
Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim
sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat
menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa
dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan
Artik dan Antartika sekarang ini.

Kawasan Sundaland pada saat itu walaupun memiliki suhu paling dingin
sekalipun, tetap dapat didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam
kerena terletak di sekitar garisan khatulistiwa. Lebih menarik lagi,
dengan muka laut yang lebih rendah, pada masa itu Sundaland adalah
satu daratan benua yang menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk
kawasan yang amat luas dan datar. Apabila bumi menjadi semakin panas
dan sebagian daratan Sundaland tenggelam daerah ini tetap dapat
didiami dan tetap subur.

Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang
dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana
geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang
dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah
longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa
lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung
Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam
penelitian geologi.
Instansi yang terkait diharapkan dapat berperan menangkap peluang
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengungkap fenomena
Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang maupun sebagai Taman
Eden. Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh
temuan-temuan awal (hipothesis) yang mampu mengundang minat penelitian
dunia untuk melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan. .

Keberhasilan langkah upaya mengungkap suatu fenomena alam akan membuka
peluang pengembangan berbagai sektor diantaranya adalah sektor
pariwisata. Kemampuan manajemen kepariwisataan yang baik, suatu
kegiatan penelitian berskala internasional artinya hipotesis
penelitian yang dibangun dapat mempengaruhi wilayah dunia lainnya,
akan berpotensi menjadi kegiatan wisata ilmiah yang dapat
menghasilkan devisa negara andalan dan basis ekonomi masyarakat
seperti yang telah dinikmati oleh Mesir, Yunani, Cyprus dll.

Ucapan Terima Kasih—Terima kasih penulis sampaikan kepada:
1) Prof. Dr. Ir. Adjat Sudradjat, M.Sc atas saran dan koreksinya.
2) Ir. Oman Abdurahman atas review dan editing keseluruhan isi tulisan.

Penulis adalah peserta Program Doktor Pengembangan Kewilayahan di
Universitas Padjadjaran Bandung.

sumber :
mailis Baraya_Sunda@yahoogroups.com
Selasa, 16 September 2008

1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel anda:

http://arkeologi.infogue.com/
http://arkeologi.infogue.com/benarkah_sundaland_itu_atlantis_yang_hilang_

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!