Jumat, 26 Desember 2008

World without borders

by Samir Sobhi
takes the concept of global village to its logical
conclusion



Sociology tells us how we evolved from a nomadic life to settle in
villages before moving on to form cities, states and federations.
Europe now is becoming one nation, a continent-state, a place where
countries such as Britain, France, Russia, Italy and Greece melt in
one big pot. Europe inspired modern civilisation and much of today's
international economy. Its example is hard to resist.

How did Europe manage to have a single market and currency? How long
will it take Europe before it becomes a single country, a continent
without borders? Like a chess player Europe thinks ahead, rearranging
its domestic affairs and contemplating the moves that lie ahead.

In most European countries parties vie for ways to satisfy the
electorate. Sometimes these multi-party systems have spawned a reality
in which two parties take the lead, as is the case in the UK. Will the
day come when we hear of a European parliament, comprised of
representatives from across the continent, reacting to the policies of
one cabinet, with one president or prime minister taking charge?

A one-state Europe may not be as far-fetched as some think. If we
consider the history of the UK we can see how the unthinkable becomes
gradually accepted. The Tories were in control of British political
life for most of the last century. They have won 20 out of the last 26
parliamentary elections.

In 1993 the Tories were in trouble because of divisions over the
Maastricht treaty. Then Prime Minister John Major dismissed the
objections of sceptics and decided to sign up. This was not the first
instance of resistance in the UK to integration with Europe. Following
WWII Labour opposed the creation of joint European organisations. At
the time analysts supposed Britain was jealous of losing its status as
a world power in an international scene increasingly dominated by the
Americans.

Now it seems that the march for European unity is unstoppable. It may
take a few years but with Austria, Finland and Sweden finally in there
is no turning back.

Winston Churchill said it would happen. In the late 1940s, when the
Tories were in opposition, he made speeches calling for Europe to
unite. His views were shared by several Tories, including Harold
Macmillan. But the Tories changed their mind later, rejecting several
pan-European projects, including the European Coal and Steel
Community. In 1952 Anthony Eden argued that Britain could not afford
to contemplate joining a European federation.

Dorriya Shafiq Basiouni, author of Unified Europe, believes that
changing political life in Europe will influence the politics of the
Third World. A unified Europe is too powerful a role model to ignore.
If only for economic reasons political boundaries are likely to erode.
We can see it already happening, in the omnipresence of satellite
communication, in converging lifestyles and in increased
standardisation. Continents are becoming states and the world will
follow.

The global village -- with six billion inhabitants doing more or less
the same things -- is no longer a figment of imagination. It is where
we live.

Dari Tsunami ke Surga

Viddy AD Daery

Korban-korban tsunami ramai-ramai digendong malaikat menuju surga, dan
setelah rasa "super jet-lag" mereka sudah reda, mereka disuruh memilih
istana-istana supermewah mereka sendiri, disambut bidadara-bidadari
tampan-jelita, ramah tamah, bikin mereka kikuk karena seumur-umur
hidup di negara kaya-raya, tapi tak pernah mereka rasakan nikmatnya,
karena kekayaan negara lebih banyak diangkut ke ibu kota negara, atau
ke kota-kota dunia tempat mukim para investor asing yang menjadi
begundal pejabat negara untuk memeras aneka tambang sampai hampir
ludes.

Hampir-hampir mereka lupa pada masalahnya, karena terlena oleh
fasilitas supermewah itu, jika tidak ada panggilan dari malaikat
koordinator:
"Apakah kalian tidak ingin melihat kota dan negeri kalian
pascatsunami? Jika ingin, maka segeralah berkumpul di aula besar!
Jangan terlambat!"

Maka berbondong-bondonglah korban tsunami itu menuju ruangan
superbesar dan sangat indah dan nyaman lengkap dengan segala
fasilitas, dan di dinding-dindingnya terpampang layar-layar tv raksasa
yang memperlihatkan tayangan-tayangan korban tsunami.

Kota yang dulunya indah kini remuk tak berbentuk, gedung-gedung
hancur, rumah-rumah rata menjadi sampah raksasa, dan ribuan mayat
bagaikan taburan bangkai akibat pembasmian massal (yaa… seperti kita
semua juga saksikan di layar-layar televisi dunialah).

"Lihat! Itu mayatku! Tertindih bangkai mobil!" teriak seseorang.
"Ya, ya… aku ingat, aku berlari di tengah air hitam yang makin
deras…
tiba-tiba aku merasa ditindih mobil yang terguling dan melibasku…
lalu
kami digulung air bah… lalu aku tak ingat apa-apa… dan aku
terbangun
justru telah dalam gendongan malaikat sudah hampir masuk gerbang surga
tanpa pemeriksaan hisab!" seru yang lain.

Seorang ibu-ibu berbaju mukena putih terus saja melihat layar-layar
itu sambil terus-menerus membaca ayat-ayat Alquran yang dihafalnya.

"Masya Allah… itu mayat-mayat orang-orang sedesaku… Cuma ditumpuk
begitu saja… lalu digaruk pakai traktor lantas dibuang ke sebuah
lubang besar… gilaa… waah, aku harus memberitahukan hal ini kepada
Said, Maskirbi, Nurgani Asyik… di mana mereka yaa… hmmm… ..ah,
pasti,
mereka juga tengah memelototi layar dan menyumpahi para serdadu yang
main garuk itu…gilaa…ini mengingatkan zaman DOM saja …"

Tiba-tiba terdengar suara malaikat yang melayang-layang di udara:
"Sudaah… sudaaah… tak usah disesali lagi apa pun yang terjadi
karena
memang semua kehidupan ini berada dalam surat takdir Allah SWT…
apakah
kalian menyesal dengan adanya tsunami? Apakah kalian tidak puas dengan
kenyataan dan kehidupan kalian sekarang di surga?"
"Insya Allah, kami puaassss, yaa malaikaaat…" seru orang-orang dengan
takzim.
"Mau melihat lagi negeri kalian sebelum tsunami? Nah lihat lagi layar
televisi," kata malaikat.

Dan terpampanglah gambar-gambar yang kita lihat sehari-hari di sekitar
rumah kita, atau malahan mungkin rumah kita sendiri… rumah-rumah yang
sumpek, reyot, halaman becek dan bau, tergenang air dan lumpur, tikus
dan ayam berebut makanan, sampah menumpuk di mana-mana. Aspal di ujung
gang juga becek dan berlubang-lubang, dan angkot-angkot berseliweran
saling senggol, dan sopirnya saling maki… di perempatan jalan tampak
polisi acuh tak acuh, dan di ujung perempatan, para preman justru
petentang-petenteng memalak angkot-angkot yang melintas dan sesekali
juga kepada pejalan kaki. Ya, saya kira persis yang kita lihat
sehari-harilah.

"Sebetulnya… negeri kami juga diberi Allah kekayaan, ya malaikat…
dan
kami berusaha bersyukur untuk itu, tapi kami belum pernah merasakan
nikmatnya sedikit pun, jangankan rumah mewah, rumah sederhana kami pun
selalu bocor di kala hujan, kena debu di kala kemarau… ..dan… kami
selalu takut di akhir bulan ditunggu aparat pajak, listrik, telepon,
ini-itu…belum lagi kerusuhan dan pertikaian antarserdadu
kelompok-kelompok yang bertikai…pokoknya kami tak pernah merasa
tenteram di negeri kami sendiri…"

"Ya, ya, ya… nah, apakah kalian ingin tahu ke mana uang-uang kekayaan
kalian dibawa para maling itu? Lihat layar televisi lagi!"

Dan terpampanglah sebuah "features" perjalanan uang, dari
tambang-tambang yang digaruk, lalu dijual ke perusahaan-perusahaan
multinasional, lalu uangnya "dimainin" dulu, sebagian kecil disetor ke
negara, sedangkan 99%-nya dibagi-bagi ke kantong para pejabat dan para
eksekutif perusahaan tambang.

Lalu para pejabat itu membeli tanah berhektare-hektare dan di atasnya
dibangun istana megah lengkap dengan lapangan luas, diapit kolam
renang, ruang makan, musala dan…ya…seperti yang kita lihat di
kompleks-kompleks pejabat perusahaan negaralah… dan kini hampir
setara
dengan istana yang kini diberikan Allah kepada rakyat korban tsunami
itu.

"Nah, sekarang aku mau tanya, para pejabat dan pemimpin itu sudah
berkali-kali menipu kalian, sudah ratusan kali mengkhianati kalian,
kok kalian masih saja memilih mereka menjadi pemimpin kalian dalam
setiap pemilu?"
Semua terdiam.

"Sebaliknya, para pemimpin yang mempunyai komitmen kuat hendak
menyelamatkan kalian dari bencana, malah kalian caci-maki, kalian
fitnah, bahkan nyaris kalian bunuh…''
Orang-orang itu semakin tertunduk malu.

"Sekarang, di surga memang tidak ada hukuman, tapi aku mau kalian
mendengar dan menyaksikan seorang bidadari membaca puisi bagus yang
bisa kalian renungkan untuk mengalkulasi kebodohan-kebodohan kalian."
Dan tampillah seorang bidadari jelita, yang kulitnya putih bersih
bagaikan susu, sedang susunya sendiri tampak besar dan mantap, sangat
mempesona, dengan tenang dan percaya diri serta berwibawa berkata:
"Ini aku akan bacakan puisi karya penyair yang disia-siakan di negeri
kalian sendiri, dicemooh di koran-koran maupun di forum-forum seniman,
karena memang negeri kalian negeri terkutuk, di sana umumnya para
penyair hanya memuja-muja sastrawan yang menulis puisi seks, atau
mengenai orang gila, atau bahkan cuma mengenai celana dalam, sarung
dan bahkan tak jarang membuang waktu bicara tiga hari tiga malam
mengenai "nonsense", yaitu suatu absurdisme yang sia-sia dan tak
memberi kepositifan apapun untuk kehidupan. Tapi kalian sangat memuja
hal-hal seperti itu. Kalian bilang; ''memberi sesuatu yang sia-sia…
memberi arti sesuatu yang kelak retak…'' Kalian memang pintar bicara,
tapi kelemahan kalian adalah salah atau tidak, kalian suka ngotot
minta dianggap paling benar..''
"Memang terkadang penyair yang kalian puja juga menulis mengenai
penderitaan, tetapi ironisnya yang ditulis adalah penderitaan bangsa
lain, seperti penderitaan Frida Kahlo atau Erendira dari Amerika
Latin, seakan-akan di sekeliling kalian tidak ada orang menderita yang
bisa ditulis, nyatanya tetangga sebelah rumah kalian sendiri makan
saja susah kan? Kalau menulis mengenai bangsa yang terjajah adalah
menulis mengenai Bahama atau bangsa kepulauan-kepulauan Hibrida,
padahal bangsa kalian sampai kini dijajah dan ditindas oleh para
pemimpin kalian sendiri…''

"Nah, sekarang kalian dengarkan karya emas penyair yang kalian
sia-siakan ini. Penyair ini justru dihargai di luar negeri, di
Australia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand dan sebagainya,
bahkan puisi-puisi penyair ini dimuat di berbagai situs website puisi
dunia… nah coba kalian dengarkan."

Ulang tahun kebodohan
Kami selalu bernyanyi-nyanyi menyanyikan kebodohan kami
Kami selalu bertepuk tangan berirama, melagukan kemiskinan kami
Kami selalu menari dan berdansa merayakan masa depan suram kami
Selamat ulang tahun, selamat panjang umur
Wahai masa depan bangsa yang kabur
Kamilah bangsa keledai
Yang selalu jatuh ke lubang yang sama
Berkali-kali, berjuta-juta kali
Tapi entah kenapa
Tak sadar-sadar juga
Ya Allah tunjukilah kami jalan yang benar
Jangan biarkan kami bagai domba-domba yang kesasar

Selesai membaca puisi, bidadari itu langsung melayang tinggi lalu
hilang. Tapi tak ada tepuk tangan, semua diam… hening… dan
tiba-tiba
satu per satu mereka mulai menangis mengguguk dan akhirnya pecahlah
tangis yang riuh rendah, memenuhi aula besar hingga suaranya bagaikan
koor jerit yang menyayat hati, menyesali kehidupan negeri mereka yang
bodoh dan biadab.

Dan air mata itu terus menggenang dan mengalir menuju ke selokan
surga, terus menuju pembuangan dan akhirnya dibuang menjadi hujan
deras yang turun ke bumi, menjadi hujan yang terasa aneh di bumi,
karena hujan ini membawa hawa dingin yang menyayat, dan jika turunnya
malam hari, hujan itu menyebarkan gairah bertobat kepada insan-insan
yang suka bangun dan salat malam.

Hujan itu membuat insan-insan itu juga ikut menangis, menangisi
negerinya yang tak kunjung sembuh dari kebodohan dan kemalangan yang
terus-menerus berlangsung hampir setiap hari.

Bahkan, wartawan media massa hampir tak pernah "mencari-cari atau
membuat" berita, karena berita telah datang sendiri, dan setiap berita
musibah amat layak tampil di halaman satu atau headlines.

Malahan, amat sangat sering juga satu hari terdapat lima puluh jenis
musibah sekaligus, sehingga ada harian Koran KREATIF yang sangat
kreatif, dengan memperpanjang ukuran halaman satunya hingga lima
meter, karena saking banyaknya berita musibah.

Musibah itu tentu bukan hanya musibah bencana alam, tetapi juga
musibah tahun ajaran baru, musibah liburan, musibah belanja, musibah
beras, musibah listrik, musibah BBM, musibah agama, bahkan hiburan pun
menjadi musibah, karena hiburan yang ada hampir 99,9% berupa hiburan
yang merusak moral bangsa.

Bahkan, sebuah malam amal "peduli musibah bangsa" pun menjadi musibah
bangsa juga, karena pada malam amal itu semua jenis pertunjukan
diwajibkan yang berjenis maksiat, karena budayawan yang menjadi
promotor malam amal itu berpendapat bahwa "tak semua musibah harus
ditangisi, ada kalanya musibah juga harus dirayakan."

Di surga sana, malaikat sudah membocorkan rahasia kepada korban-korban
tsunami yang sedang menangis dua hari dua malam itu:
"Heii, kuberi tahu yaa… tsunami itu bukan apa-apa, belum seberapa…
lihat saja… bangsamu masih saja banyak yang bermaksiat kok meski
tsunami bagi kaumku, kaum malaikat… sudah merupakan musibah yang amat
mengerikan…lihat saja…Allah sudah mulai menugasi kami menyiapkan
superbencana yang pernah membuat kami menangis setahun penuh… saking
beratnya kami melaksanakan tugas bencana itu…yaitu…KIAMAT
KUBRO….huaaaaawwww…huaawwwww….." Malaikat pun menangis sendiri
dengan
suara yang mengguntur dan seluruh tubuhnya bergetar hebat...

Seorang penyair di bumi mendengar suara tangis itu
mengguntur-menggeledek di sore hari yang mendung pekat tanggal 19
Januari 2005. Kini penyair itu menunggu…hitungan malaikat "SEGERA"
itu
apakah sehari lagi, sebulan lagi, setahun lagi atau seratus tahun
lagi???? Wallahua'lam bissawab.

Raya Ulujami, 19 Januari 2005

BHP dan Peran Serta Masyarakat

Oleh : Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma

ADA mainan baru bagi para praktisi dan pemerhati pendidikan di
Indonesia, namanya badan hukum pendidikan (BHP). Kontroversi soal BHP
mencuat ketika DPR mengesahkan RUU BHP minggu lalu, dan sebagian
mahasiswa meresponsnya dengan cara biasa: demonstrasi, bahkan hingga
ke Gedung DPR. Di Makassar kegaduhan soal BHP diperparah aksi saling
lempar dan saling sikut antara polisi dan mahasiswa. Argumentasi
sederhana yang menggerakkan demonstrasi mahasiswa dan penolakan
terhadap RUU BHP dari para pengamat pendidikan adalah bahwa BHP kelak
akan membuat pendidikan menjadi mahal serta melepaskan tanggung jawab
pemerintah untuk memberikan pendidikan gratis kepada masyarakat.
Pertanyaan sederhananya adalah benarkah sebuah produk undang-undang
yang akan dibuat oleh pemerintah dan DPR membuat mereka lalai dan
menyengsarakan rakyatnya?
Sebagai sebuah konsep yang cukup penting bagi upaya reformasi bidang
pendidikan di Tanah Air, rancangan undang-undang BHP sebenarnya
merupakan kelanjutan dari amar Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal tersebut dinyatakan agar
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan.
Ketentuan tentang badan hukum pendidikan itu akan ditetapkan dengan
undang-undang tersendiri.
Secara konseptual tujuan RUU BHP sebagai sarana untuk meningkatkan
peran serta dan partisipasi masyarakat memang cukup ideal. Bahkan dari
aspek pemberdayaan masyarakat, RUU BHP merupakan semacam revolusi
diam-diam dari pemerintah untuk memberikan kembali beban tanggung
jawab pendidikan kepada masyarakat. Karena seperti masa lalu, peran
dan kontrol masyarakat terhadap pendidikan lumayan baik. Hal itu dapat
ditunjukkan dengan tingginya minat masyarakat untuk aktif terlibat
dalam sebuah proses keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Namun, pasca-Instruksi Presiden SDN Nomor 10 Tahun 1973, pemerintah
secara terstruktur serta perlahan tapi pasti mulai mengambil alih
kepemilikan sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik
pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratis dan sentralistis.
Itulah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan karena
pemerintah secara jemawa memaksakan kehendaknya membangun sistem
ketergantungan yang mengubah
secara total mentalitas masyarakat untuk selalu meminta kepada
pemerintah.


Bahkan jika dilihat dari aspek tujuan, RUU BHP berpotensi untuk
membuat sebuah kesadaran baru bagi masyarakat agar manajemen
pendidikan kita haruslah dikelola berdasarkan kebutuhan
sekolah/madrasah sebagai bentuk otonomi manajemen pendidikan pada
tingkat kepala sekolah/madrasah dan guru yang dibantu masyarakat.
Selain itu, baik Undang-Undang Sisdiknas maupun RUU BHP dimaksudkan
pula sebagai upaya untuk menghapuskan diskriminasi antara pendidikan
yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat,
serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum, yang
pada akhirnya masyarakat akan memperoleh kepastian hukum dalam
menerima pelayanan pendidikan secara bermutu, tidak diskriminatif,
berprinsip nirlaba, serta masyarakat bersama-sama dengan sekolah dapat
mengelola dana secara mandiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita
pendidikan yang mereka terapkan dalam visi dan misi sekolah. Sekali
lagi pertanyaan sederhananya adalah apakah
pemerintah telah memenuhi kewajibannya dalam membina dan
mengembalikan peran, fungsi, dan tanggung jawab masyarakat terhadap
sekolah/madrasah?

Mengembalikan peran masyarakat
Masyarakat sebagai klien sekaligus konsumen bidang pendidikan dalam
kedua undang-undang belum sepenuhnya dijamin dan diberdayakan
pemerintah. Dari prioritas pembangunan pendidikan, hampir tak ada
program yang secara spesifik menyebutkan program pemberdayaan terhadap
komunitas sekolah apa yang dilakukan pemerintah. Bahkan program
semisal kampanye dan penyadaran tentang pentingnya masyarakat ikut
bertanggung jawab terhadap lingkungan belajar anak-anaknya, minimal
sekolah terdekatnya pun tak dilakukan. Konsep komite sekolah yang
sejauh ini ada sayangnya tidak diteruskan sebuah program yang
berkesinambungan, misalnya pelatihan yang memungkinkan komunitas
sekolah berkontribusi secara ajek dan jelas dalam ikut mengawal proses
pembelajaran di sekolah. Komunitas sekolah melalui komite sekolah saat
ini tak jauh berbeda dengan zaman Orde Baru dengan POMG-nya yang hanya
merupakan kepanjangan tangan pemerintah dan tukang stempel sekolah
untuk mengesahkan
program-program yang rata-rata justru memberatkan masyarakat.


Praktik distribusi dana bantuan operasional sekolah (BOS), misalnya,
meskipun ada keterlibatan komite sekolah, tetapi pada praktiknya di
banyak sekolah peran tersebut sangat lemah karena komunitas tidak
pernah dilatih dan diajak berpikir bersama merumuskan
kebijakan-kebijakan sekolah. Padahal seyogianya masyarakat memiliki
legitimasi dan hak untuk ikut terlibat dalam proses manajemen sekolah
(Dunn, 1998). Keberadaan BHP jangan-jangan juga merupakan alasan
pemerintah untuk melakukan intervensi tambahan terhadap
ketidakberdayaan masyarakat selama ini dalam berhadapan dengan seluruh
kebijakan pengembangan sekolah.
Karena itu, sebaiknya pemerintah merapikan dulu konsep dan eksistensi
komite sekolah di lapangan dengan turun sendiri, paling tidak melalui
bantuan para akademisi di kampus-kampus, untuk melakukan identifikasi
terhadap kemampuan masyarakat dalam berinteraksi dengan sekolah.
Masyarakat harus dilatih dalam sebuah program yang memadai agar mereka
juga menjadi lebih berdaya dan tidak dijadikan bulan-bulanan pihak
sekolah dan otoritas pendidikan. Jika hal itu tak dilakukan, jangan
berharap RUU BHP akan efektif dan efisien karena pasti akan
bermunculan kembali konflik-konflik baru di bidang pendidikan yang
bersifat lokal, persis seperti konflik-konflik yang terjadi dalam
kebijakan pilkada karena hal itu menyangkut ranah hukum. Dengan
demikian, segregasi di masyarakat akan semakin tajam dan proses
pendidikan akan terganggu.
Pentingnya mengembalikan peran masyarakat agar bertanggung jawab
terhadap persoalan pendidikan di tingkat lokal melalui sebuah program
pemberdayaan yang terstruktur dan sistematis adalah tuntutan yang
harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah. Jika masyarakat paham
tentang penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan
sekolah, mengerti meski sedikit tentang performance indicators baik
yang berkaitan dengan siswa dan guru, serta paham tentang arah
pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan baik. Pengetahuan dasar dan
keterampilan tersebut adalah hanya beberapa di antara program yang
harus dilatihkan kepada masyarakat kita (Boyd and Claycomb, 1994).
Bahkan ujung dari keterampilan tersebut akan membawa masyarakat kita
cerdas dalam merencanakan pembiayaan pendidikan sehingga masyarakat
tak melulu curiga karena mereka selain dilibatkan, juga paham dan
mengerti hal-hal teknis tersebut.


Karena itu, penting diperhatikan bagaimana seharusnya pemerintah
merencanakan program pemberdayaan komunitas sekolah, paling tidak
sebelum RUU BHP menjadi undang-undang yang siap untuk
diimplementasikan. Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling
tidak mencakup program pemberdayaan orang tua (parent empowerment) dan
kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and
teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian tentang peran
serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan
sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal partnership) merupakan
strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh besar kepada hasil
belajar siswa (Bauch and Goldring, 1998).
Dari program pemberdayaan ini akan muncul kesimpulan, apakah misalnya
sebuah komite sekolah harus dipilih atau ditunjuk otoritas pendidikan.
Jika masyarakat tahu karena diberdayakan melalui sebuah program,
sangat mungkin akan terjadi banyak masalah yang muncul di sekitar
pemilihan dewan tertinggi baik di tingkat sekolah maupun ketika BHP
akan dilaksanakan. Namun, hal itu diharapkan akan menjadi pertanda
bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah. Banyak kasus
ditemukan bahwa semakin demokratis masyarakat dalam merencanakan
kebijakan sekolah maka akan semakin baik kualitas sebuah proses
pendidikan akan berlangsung (Chibulka, 1997; Resnick, 2000).
Selain program pemberdayaan masyarakat, masalah penegakan hukum (law
enforcement) bidang pendidikan harus lebih dipertegas undang-undang.
Jangan sampai jika terjadi penyimpangan terhadap undang-undang
sanksinya menjadi tidak jelas. Banyak sekali contoh pelanggaran hak
konstitusi yang dilakukan pemerintah, tetapi lemah dalam hal penegakan
hukumnya. Misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas disebutkan bahwa
gerakan reformasi menuntut penerapan prinsip bahwa otonomi di tingkat
sekolah akan diberikan seluas-luasnya, tetapi penerapan ujian nasional
(UN) malah mengebiri otonomi tersebut agar mati suri. Karena itu, tak
dapat dibayangkan apa jadinya jika Undang-Undang BHP dijalankan,
tetapi masyarakat tetap tak diberdayakan dan pelanggaran tetap tak
bisa dikenakan kepada pemerintah sebagai pembuat undang-undang.
***

sumber :
http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTE4Nzc=

UU Badan Hukum Pendidikan Dinilai Legalkan Guru Kontrak

UU Badan Hukum Pendidikan Dinilai Legalkan Guru Kontrak
Sistem kontrak membuat posisi tawar guru semakin lemah.

JAKARTA -- Ketua Forum Guru Independen Indonesia Suparman menilai
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tidak berpihak kepada guru,
terutama guru nonpegawai negeri sipil. "Ada celah yang diberikan
kepada Badan Hukum Pendidikan untuk mengangkat guru kontrak," kata dia
kepada Tempo kemarin.
Dalam Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan disebutkan,
pendidik dan tenaga kependidikan membuat perjanjian kerja dengan
pemimpin organ pengelola badan hukum pendidikan pemerintah, badan
hukum pendidikan pemerintah daerah, dan badan hukum pendidikan
masyarakat.
Dalam ayat 5 juga dijelaskan, pengangkatan atau pemberhentian jabatan
serta hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan dalam status
ditetapkan dengan perjanjian kerja berdasarkan anggaran dasar dan/atau
anggaran rumah tangga serta peraturan perundang-undangan.
Pasal-pasal itu, kata Suparman, membuka peluang kepada badan hukum
pendidikan untuk membuat perjanjian kerja berkala dengan pendidik
(kontrak), yang membuat guru nonpegawai negeri sipil akan semakin
sulit memperoleh status pendidik tetap.
Sistem kontrak ini, kata Suparman, akan membuat posisi guru semakin
lemah dan daya tawarnya berkurang. "Guru jadi rentan terkena pemutusan
hubungan kerja," kata dia.
Dari 920.702 orang tenaga honorer yang terdaftar di Badan Kepegawaian
Nasional (digaji dengan anggaran pendapatan dan belanja
negara/anggaran pendapatan dan belanja daerah), ia menjelaskan ada
351.505 orang (38 persen) yang merupakan tenaga honorer. Semua tenaga
honorer itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005,
akan diangkat menjadi pegawai negeri sipil hingga 2009.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistyo menyatakan, dari 1,2
juta guru swasta di Indonesia, sekitar 600 ribu tergabung di PGRI.
"Dari mereka yang tergabung sekitar 110 ribu adalah tenaga honorer,"
kata dia. Hingga saat ini PGRI belum memiliki data yang pasti tentang
jumlah tenaga honorer swasta di Indonesia.


Sebenarnya, ia menjelaskan, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
mengamanatkan adanya perwakilan pendidik di dalam struktur
kepemimpinan badan hukum pendidikan. Namun, Suparman ragu perwakilan
pendidik itu mau dan mampu memperjuangkan nasib rekannya. Guru
nonpegawai negeri sipil, dia menambahkan, kerap bermasalah dalam
hubungan kerja. "Tidak semua yayasan peduli nasib pendidiknya," kata
dia.
Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat Achmad Fathoni
Rodli menyatakan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan harus dilengkapi
peraturan pendukung, seperti peraturan pemerintah atau peraturan
menteri. Alasannya, kata dia, banyak pasal dalam undang-undang itu
yang belum menjelaskan implementasi peraturan setelah disahkan.
Salah satunya, payung hukum yang mengatur pertentangan atau konflik
antara guru dan yayasan. "Seharusnya disediakan peraturan perundangan
atau mahkamah pendidikan," kata dia. Saat ini setiap pertentangan
diselesaikan melalui pengadilan hubungan industrial.
Soal ini, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Fasli Jalal menyatakan guru berstatus pegawai negeri sipil
maupun yang tidak telah dilindungi oleh Undang-Undang Guru dan Dosen.
"Tidak ada perbedaan," kata dia. REH ATEMALEM SUSANTI

sumber :
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/22/Nasional/krn.20081222..151693.id.html

UU Minerba dan BHP

DPR—yang katanya wakil rakyat—menunjukkan 'wajah asli'-nya:
mengkhianati rakyat! Di akhir tahun ini, DPR 'menghadiahi' rakyat
dengan dua 'kado pahit'. Pertama: UU Minerba (Undang-undang Mineral
dan Batubara) yang disahkan pada 16 Desember 2008 (Detikfinance.com,
16/12/08). Kedua, UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) yang
disahkan pada 17 Desember 2008 (Pikiran Rakyat, 17/12/08). Artinya,
pengesahan kedua UU ini hanya berselang sehari.

Pengesahan kedua UU ini menjadi bukti pengkhianatan DPR—juga
Pemerintah—terhadap rakyat yang diwakilinya untuk kesekian kalinya.
Sebab, kedua UU ini lagi-lagi berpotensi mencampakkan kepentingan
rakyat.

UU Minerba—yang akan menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang
Pokok-pokok Pertambangan—semakin menyempurnakan lepasnya peran
Pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam
milik rakyat dan menyerahkannya kepada para pemilik modal
(swasta/asing). UU ini sekadar melengkapi UU sejenis yang sudah
disahkan sebelumnya, yaitu: UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal.
Semua UU ini pada hakikatnya bertujuan satu: memberikan peluang
seluas-luasnya kepada pihak swasta, terutama pihak asing—karena
asinglah yang selama ini memiliki modal paling kuat—untuk mengeruk
kekayaan alam negeri ini sebebas-bebasnya. Padahal sebelum disahkannya
UU Minerba ini saja, hingga saat ini kekayaan tambang dalam negeri, 90
persennya sudah dikuasai asing. (Sinarharapan.co.id, 13/6/08).

Adapun UU BHP semakin menyempurnakan lepasnya tanggung jawab
Pemerintah dalam pengurusan pendidikan warga negaranya. UU ini
melengkapi UU Sisdiknas yang juga sudah disahkan sebelumnya. Kedua UU
ini pada hakikatnya juga satu tujuan: melepaskan tanggung jawab
Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam
penyelenggaraan pendidikan warga negaranya, sekaligus membebankan
sebagian atau keseluruhannya kepada masyarakat. Padahal pendidikan
jelas merupakan hak rakyat yang wajib dipenuhi Pemerintah secara
cuma-cuma.
Liberalisasi di Balik UU Minerba dan UU BHP

1. UU Minerba.

Mengapa Indonesia memerlukan UU Minerba? "Demi menjamin kepastian
hukum bagi kalangan investor." Lagi-lagi begitulah alasan 'logis'
Pemerintah. Alasan yang sama juga pernah dilontarkan Pemerintah saat
UU Migas, UU SDA maupun UU Penanaman Modal disahkan. Hanya demi
kepastian hukum bagi kalangan pengusaha, Pemerintah tega mengabaikan
kepentingan rakyat. Dalam UU Minerba, misalnya, jelas-jelas sejumlah
kontrak di bidang pertambangan yang selama ini amat merugikan
rakyat—yang telah berjalan lebih dari 40 tahun sejak Orde
Baru—tidak
akan diotak-atik. Padahal sebagian besar dari kontrak-kontrak itu baru
akan berakhir tahun 2021 dan 2041. Memang, dengan berpegang pada pasal
169b UU Minerba ini, Pemerintah bisa mendesak dilakukannya penyesuaian
pada kontrak-kontrak yang ada sekarang ini. Namun, UU Minerba ini
tetap mengakomodasi pasal 169a yang melindungi keberadaan
kontrak-kontrak lama itu. Itulah yang menjadi alasan mengapa
Pemerintah tidak akan
'semena-mena' mencabut kontrak pertambangan yang sudah ada. "Tujuh
fraksi di DPR kan juga sudah mengatakan kontrak yang sudah ada perlu
dipertahankan siapapun menteri dan presidennya. Itu adalah kontrak
negara dengan mereka. Jadi itu yang harus dihormati," ujar Menteri
ESDM Purnomo Yusgiantoro (Kontan.co.id, 18/12/08).

Di sisi lain, hingga 2006 saja, Pemerintah telah menerbitkan
sedikitnya 2.559 ijin pertambangan dan batubara. Itu belum termasuk
ijin tambang galian C, ijin tambang migas dan Kuasa Pertambangan yang
dikeluarkan pemerintah daerah pada masa otonomi daerah. Di Kalimantan
Selatan saja, lebih dari 400 ijin tambang dikeluarkan. Di Kalimantan
Timur ada 509 ijin. Di Sulawesi Tenggara ada 127 ijin tambang. Di
kabupaten baru, Morowali, Sulawesi Tengah, bahkan sudah dikeluarkan
190 perijinan. Jumlah ini akan terus bertambah dan luas lahan untuk
dikeruk akan makin meluas. Tidak ada batasan kapan dan berapa jumlah
ijin yang patut dikeluarkan tiap daerah (Jatam.org, 28/11/08). Yang
pasti, ribuan ijin tersebut, selama belum berakhir, tidak akan pernah
bisa diotak-atik berdasarkan UU Minerba yang baru itu.

2. UU BHP.

Terkait UU BHP, banyak kalangan menilai bahwa UU ini lebih untuk
melegalisasi 'aksi lepas tanggung jawab' Pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan. Memang, anggapan ini dibantah oleh Ketua
Komisi X DPR Irwan Prayitno. Ia menyatakan, UU BHP ini justru bisa
memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut
biaya pendidikan yang tinggi. Selain itu, Fasli Jalal, Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menambahkan, "Di UU BHP ini
justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga
biaya operasional," ujar Fasli. Selain itu, menurutnya, BHP wajib
menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang
mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru
(Dikti.org, 18/12/08).

Namun, yang perlu dipertanyakan: Pertama, bukankah UU BHP ini masih
mewajibkan masyarakat untuk membayar pendidikan? Padahal Pemerintah
seharusnya memberikan pendidikan cuma-cuma alias gratis kepada
rakyatnya—karena memang itu hak mereka—dari tingkat dasar hingga
perguruan tinggi. Kedua, jatah 20 persen kursi untuk siswa/mahasiswa
miskin tentu tidak memadai dan tidak adil. Sebab, di negeri ini rakyat
miskin yang tidak bisa sekolah, apalagi sampai ke perguruan tinggi,
jumlahnya puluhan juta. Menurut data Susenas 2004 saja, dari penduduk
usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang
tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai
41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Lalu menurut data Balitbang
Depdiknas 2004, yang putus sekolah di tingkat SD/MI tercatat sebanyak
685.967 anak; yang putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054
orang. Dengan terjadinya krisis ekonomi yang parah saat ini, pasti
anak-anak putus
sekolah semakin berlipat jumlahnya. Artinya, UU BHP ini tetap tidak
menjamin seluruh rakyat bisa menikmati pendidikan.
Tolak Liberalisasi, Terapkan Syariah!

Dari sekilas paparan di atas, jelas bahwa liberalisasi atas negeri ini
semakin hari semakin dalam dan semakin merambah semua bidang
kehidupan. Celakanya, semua itu dilegalkan oleh Pemerintah dan
DPR—yang diklaim sebagai pemangku amanah rakyat—melalui sejumlah
UU.
Di bidang minyak dan gas ada UU Migas. Di bidang pertambangan dan
mineral ada UU Minerba. Di bidang sumberdaya air ada UU SDA. Di bidang
usaha/bisnis ada UU Penanaman Modal. Di bidang pendidikan ada UU
Sisdiknas dan UU BHP. Di bidang politik tentu saja ada UU Pemilu dan
UU Otonomi Daerah. Di bidang sosial ada UU KDRT dan UU Pornografi.
Demikian seterusnya.

Sementara itu, puluhan UU lain masih berupa rancangan. Yang masuk
dalam Prolegnas selama 2006-2009 saja ada sekitar 173 RUU yang siap
diundangkan (Legalitas.org, di-download pada 23/12/08). Melihat
'track-racord' DPR yang jelas-jelas buruk dalam
melegislasi/mengesahkan sejumlah UU, sebagaimana dicontohkan di atas,
kita tentu semakin khawatir bahwa sejumlah RUU yang sudah masuk dalam
Prolegnas itu pun akan tetap mengadopsi nilai-nilai 'liberal'.
Ujung-ujungnya, rakyatlah yang rugi, dan yang untung hanya segelintir
kalangan, termasuk asing. Pasalnya, tidak dipungkiri, 'aroma
uang'—atau paling tidak, 'aroma kepentingan' elit partai—hampir
selalu
mewarnai setiap pembahasan RUU di DPR. Beberapa produk UU seperti UU
Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, misalnya, diduga kuat didanai oleh
sejumlah lembaga asing seperti World Bank, ADB dan USAID.

Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas
pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara tentu harus
mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam
seperti tambang minyak, mineral, batubara, dll dikelola oleh negara
secara amanah dan profesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan
untuk memenuhi kepentingan rakyat.

Karena itu, sudah saatnya umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri
ini menolak segala bentuk liberalisasi yang dipaksakan atas negeri
ini. Liberalisasi adalah buah dari demokrasi. Demokrasi akarnya adalah
sekularisme. Inti sekularisme adalah penolakan terhadap segala bentuk
campur-tangan Allah SWT dalam mengatur urusan kehidupan manusia.
Wujudnya adalah penolakan terhadap penerapan syariah Islam oleh negara
dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Padahal Allah SWT telah
berfirman:

Apakah sistem hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang
lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?
(QS al-Maidah [5]: 50).

Kenyataan yang ada membenarkan firman Allah SWT di atas. Akibat hukum
Allah SWT ditolak dan malah hukum manusia yang diterapkan, negeri ini
tidak pernah bisa mengatur dirinya sendiri. UU dan peraturan dibuat
bukan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan rakyat banyak, tetapi
sekadar untuk memuaskan hawa nafsu dan memuluskan jalan pihak asing
untuk menjajah negeri ini. Akibatnya, krisis multidimensi tetap
melilit bangsa ini. Mahabenar Allah Yang berfirman:

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya
penghidupan yang sempit, dan di akhirat kelak ia akan dibangkitkan
dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).

Pertanyaannya: Mengapa kita masih terus saja menerapkan sistem hukum
produk manusia yang terbukti banyak menimbulkan kemadaratan? Mengapa
kita masih percaya pada sistem demokrasi yang menjadi 'pintu masuk'
liberalisasi yang terbukti mengancam kepentingan rakyat? Mengapa kita
masih meyakini sekularisme sebagai dasar untuk mengatur negara dan
bangsa ini? Mengapa kita masih percaya kepada elit penguasa dan wakil
rakyat yang nyata-nyata hanya mementingkan diri sendiri,
kelompok/partainya, bahkan pihak asing atas nama demokrasi?

Setiap Muslim tentu menyadari, bahwa hanya syariah Islamlah yang pasti
akan menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan manusia, khususnya di
negeri ini. Setiap Muslim juga tentu meyakini, bahwa hanya hukum-hukum
Allahlah yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Karena itu, sudah saatnya umat Islam tidak hanya setuju terhadap
penerapan syariah Islam, tetapi juga bersama-sama bergerak dan
berjuang untuk segera mewujudkannya. Ingatlah, penerapan syariah Islam
adalah wujud keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Ingat pula,
keimanan dan ketakwaan adalah sebab bagi turunnya keberkahan dari-Nya.

"Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan
membukakan bagi mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi" (QS
al-A'raf [7]: 96).[]
***

sumber :
mailis sabili@yahoogrpoups.com

"PERUSAHAAN" REPUBLIK INDONESIA MEMBUKA LOWONGAN KERJA

Boleh saja terjadi PHK di sana-sini di berbagai
perusahaan swasta, dan boleh saja Dunia mengalami krisis global, tetapi
nyatanya:


Indonesia membuka Lowongan Kerja PNS setiap tahun dan saat ini membuka Lowongan Kerja sebagai Legislatif & Eksekutif.


Semua berlomba mengajukan diri kepada Rakyat, untuk diperkerjakan sebagai Wakil Rakyat di Legislatif dan Presiden/Wapres sebagai Eksekutif.


Apa kriteria, persyaratan dan job-desc (tugas yang harus dilakukan saat terpilih)?


Apakah Rakyat sebagai "PEMEGANG SAHAM" sebuah Negara telah memutuskan siapa yang akan dipercaya untuk duduk sebagai KOMISARIS (Wakil Rakyat = DPR) dan Board Of Directors (Eksekutif)?


Anda dan saya sebagai Rakyat dan Pemegang Saham Negara ini, apakah telah membuat kriteria, persyaratan dan tugas-tugas yang harus dijalankan oleh Komisaris dan BOD?


Sebaiknya kita semua harus segera membuat JOB-DESC mereka, dan bila mereka gagal melakukan tugas tsb., kita ber-hak memecat mereka, bahkan memecat Komisaris sekalipun (dan tidak perlu menunggu lima tahun berikutnya)? Mungkinkah?


Beberapa JOB-DESC Komisaris (DPR) dan BOD (Presiden)
sbb.:


1. Memajukan Pertamina sebagai Perusahaan Kelas Dunia,
seperti Petronas dan Shell. Bukan hanya sebagai perusahaan yang terbelakang, bahkan tidak mampu merefinery BBM untuk kebutuhan dalam negri sekalipun.

2. Membuka Pompa Bensin Pertamina, di Malaysia dan Singapore

3. Mengirim (meng-ekspor) Tenaga Ahli (Expatriate) ke
berbagai belahan dunia (bukan hanya tenaga kuli kasar dan pembantu saja) Indonesia bukanlah Negara pengekspor kuli.

4. Membangun dan mendidik Semua Anak Indonesia, dengan Program
Sekolah Gratis hingga SMA. Indonesia menjadi bangsa seperti ini dan tertinggal dari Malaysia dan Singapore, karena kualitas SDM-nya yang morat-marit.

5. Membangun dan memberikan pelayanan kesehatan
Gratis, di Rumah Sakit Intansi Pemerintah, berlaku bagi Rakyat Miskin Ada surat keterangan miskin, dari RT. RW, dan Lembaga Independent Serifitkasi Kemiskinan).

6. Memberikan dan membangun tempat tinggal yang layak
bagi rakyat yang berkemampuan terbatas. Jangan ada lagi rumah di kolong
jembatan dan tanah2 kosong yang dibiarkan, menjamur dan akhirnya harus diusir dan digusur, dengan kekerasan. Pencegahan lebih baik.

7. Memberikan dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa pandang bulu atau doku. Seperti kasus korban Lumpur Lapindo yang terkatung2, BLBI dan Korupsi kelas kakap yang maju mundur di tempat.

8. Pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia, khususnya di daerah Timur.

9. Kembalikan Pasal 33 UUD 45, seperti semula, bahwa
seluruh harta kekayaan bangsa di kuasai oleh Negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan Rakyat.

10.



11.



12.



13.



14.



15.

Mungkin Anda ingin menambahkan JOB-DESC mereka ini,
sebelum kita sebagai Pemegang Saham memilih dan memperkejakan
mereka di Perusahaan yang bernama "Republik Indonesia" tercinta ini.

Sebar luaskan dan Lowongan Pekerjaan ini, siapa tahu
ada Saudara2 Anda yang terkena PHK dapat melamar di perusahaan
"RI"?

Ayo kita awasi dan pilih Komisaris & BOD yang mampu membawa perusahaan RI ini menjadi "perusahaan" kaliber dunia dan mengalahkan pesaing2 kita, seperti Malaysia & Singapore ?

Siapa Berani menjawab tantangan ini?

Indonesia lebih maju dari Malaysia dan Singapore, dari
sudut Pendidikan (kualitas SDM), Kebersihan (Pemberantasn
Korupsi), Pendapatan (Gaji rata2), BUMN yang bersih, untung dan
memberi Dividen, dan sudut2 lainnya dalam sudut ekonomi, dalam 5 tahun
ke depan????

DI CARI Komisaris dan BOD "Perusahaan" Republik Indonesia.

Senin, 08 Desember 2008

Hari Raya Idul Adha 1429 H

Di hari besar ini kami mengucapkan Selamat Idul Adha 1429 H. Semoga di hari ini qt mendapatkan arti ruh pengorbanan sejati. Mari abdikan diri qt utk diri, agama, ummat, bangsa, dan negara.