Rabu, 19 November 2008

Memahami Bekam

Oleh ; Ketut Junaedi

Dikenal sejak zaman Nabi Musa
Di Indonesia dikenal dgn nama : Canduk, Canthuk, Kop,(yang
berasal dari bahasa Inggris (Cupping), Mambakan
Masa kejayaan Ummat Islam di bidang Pengobatan / Kedokteran pada
abad 8-12 Masehi dikenal beberapa dokter Muslim : Ali Abbas Al Majusi,
Abu Bakar Ar Rozi, Al biruni, Ibnu Sina, Az Zahrowi, Ibnu Maimun, Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah

Bekam terjemahan dari Al Hijamah dari kata Al Hajmu (torehan
darah)~> Pekerjaan membekam dan Al Hijmu ~> Menghisap / Menyedot
Al Hijamah berarti Proses pengeluaran darah kotor dengan
melukakan pada permukaan kulit


Ahli Bekam dari Non Muslim

- DR. Michael Reed Gach, California, buku Potent Point, a Guide to
Self
Care for Common Ailments (Titik berkhasiat sebagai panduan perawatan
diri dan pengobatan penyakit yang umum)

- Kohler D, 1990, buku The Connective Tissue as The Physical Method
(Jaringan ikat sebagai media fisik untuk menghantarkan energi
pengobatan
dengan bekam)

- Thomas W Anderson, 1985, 100 Diseases Treated by Cupping Method (
100 penyakit yang dapat disembuhkan dengan bekam

Hadist Nabi riwayat Thabrani,

"Hendaklah Kalian berhijamah pada tengkuk, karena dapat menyembuhkan 72
penyakit"

Hadist nabi riwayat Ibnu 'Abbas:

"Sebaik-baik hamba adalah tukang bekam, mengeluarkan darah dan
meringankan tulang rusuk serta memperjelas pandangan."

Landasan Berbekam / Al Hijamah

* Pengobatan yang disunnahkan rasulullah "Madu, Al Hijamah dan
Pemanasan Api" HR. Ibnu Abbas RA

* Madu menjadi landasan pengobatan herba

* Al Hijamah menjadi landasan operasi

* Pemanasan Api menjadi landasan laser



* "Berobat itu dengan berbekam" HR Ibnu Abbas RA

* "Sesungguhnya Rasulullah SAW pada waktu Beliau dimi'rajkan oleh
Allah SWT ke Sdratul Munthaha ,"Tidak melewati seorang malaikatpun
kecuali mengatakan : Ya Muhammad anjurkan kepada ummatmu untuk
berhijamah."

"Dia membuang darah yang kotor, meringankan tubuh serta
menajamkan penglihatan" HR At Tirmidzi

Allah mewajibkan puasa Ramadhan untuk membersihkan ruhani dan
Rasulullah mensunnahkan Al Hijamah untuk membersihkan jasadi

Definisi Al Hijamah

Kulit berfungsi mengeluarkan toksin -->Ginjal ketiga
Terapi pengeluaran racun / toksin dalam tubuh melalui permukaan
kulit. Kulit merupakan organ tubuh terbesar dalam tubuh sehingga dalam
kulit inilah banyak toksin berkumpul.

* Fungsi terganggu --> asam urat --> Kering, bisul, jerawat,
psoriasis, dsb.

Al Hijamah merupakan detoksifikasi yang tidak menimbulkan efek
samping.
Darah mengalami oksidasi tanpa udara
Plasma terpisah sendiri dari darah

Hanya plasma dan sel darah rusak yang keluar dari tempat hijamah

Jika kita meletakkan dua gelas untuk menghisap darah, maka
mungkn
saja darah akan keluar ke dalam gelas pertama, tapi tidak ke gelas
kedua, padahal keduanya saling berdekatan.

Kesembuhan dapat terjadi meskipun darah tidak keluar ke gelas.

Perbandingan Laborat antara Darah Pembuluh dengan Darah Hijamah

Darah Pembuluh

1. Seluruh kadar sel darah putih
2. Semua jenis sel darah merah
3. Sesuai dengan yang ada dalam peredaran darah

Darah Hijamah

1. Hanya 1/10 kadar sel darah putih
2. Hanya semua sel darah merah yang memiliki bentuk ganjl.
3. Volume pengikat zat besi sangat tinggi (550-1100).

Bekam Basah/ DAMAIYAH (Wet Cupping) atau Bekam Darah.

Permukaan kulit dibuka kemudian disedot untuk menarik darah yang
tercampur toksin.Inilah yang disebut Al-Hijamah

Setiap sedotan dibiarkan selama 3-5 menit dan max 9menit,
kemudian dibuang kotorannya. Banyak sedotan tidak lebih dari 7 kali.

Jarak masa bekam tempat yang sama 3-5 mgg.
Bekas luka hilang dalam 2-3 hari jika diurut dengan mnyak
but-but.
Tempat luka jangan kena air selam 3-5 jam setelah bekam

2. Bekam Kering/JAFFAH Dry Cupping) atau Bekam Angin

Penyedotan kulit dengan alat bekam tanpa melukai kulit, utamanya
untuk menarik angin dari bawah kulit
Digunakan untuk pasien yang tidak tahan terhadap rasa sakit dan
tidak tahan terhadap darah atau memiliki kondisi-kondisi tertentu
sehingga tidak mungkin dilakukan bekam basah.

Tidak ada hadist shahih yang disebutkan dari Nabi SAW bahwa
beliau melakukan hijamah dengan cara jaffah.

Memar selama 1 atau 2 minggu.
Bekam ini sedotannya hanya sekali
Biarkan 15-20 menit
Pemberian minyak but-but mempercepat menghilangnya kesan memar.

Releasing -Teknik Bebaskan Diri dari Kemarahan

By: Krishnamurti

"Bagaimana mungkin Anda bisa terbang tinggi, jika Anda masih membawa
ransel yang berat di pundak Anda?" demikian jawaban saya jika ada
peserta training yang bertanya bagaimana cara mencapai sukses dengan
cepat.

Salah satu ransel yang berat ini adalah kemarahan dan teman-temannya
seperti kekesalan, kekecewaan, kesedihan dsb. Marah itu memang
menyakitkan. Marah itu bahaya. Marah itu tidak nyaman. Marah itu
energi negatif. Marah itu disimpan jadi berat, namun jika dibuang
sering seperti bumerang yang kembali lagi ke si pengirim. Uh, sebeeel
dan sereeem…

Bagaimana melepaskan ransel yang berat tersebut?

Teknik ini saya dapatkan dari seorang sahabat yang berasal dari Jerman
saat kami training bersama di sesi NLP Malaysia tahun lalu. Beliau
sudah menekuni teknik ini belasan tahun. Teknik Releasing berikut ini
memang sudah saya sesuaikan dengan budaya Indonesia dan dikombinasikan
dengan teknik NLP lainnya agar menjadi sangat sederhana (sebagaimana
hobi saya yang ingin membuat segala sesuatu menjadi sederhana
he..he..) dan setiap orang bisa melakukannya sendiri.

Urutan proses kegiatannya adalah sbb:

1. Ambil sikap yang nyaman, bisa posisi duduk atau tiduran. Masuk
kedalam diri dalam suasana hening (Deep Trance State) sampai Anda
nyaman. Salah satu teknik sederhana favorit saya adalah menghitung
mundur dari 3, 2 dan 1 sambil bernafas sangat perlahan di setiap
hitungannya.

2. Anda hening beberapa saat. Setelah itu, lakukan kalimat sugesti
diri (self suggestion) berikut ini dengan teknik:

Tanda * = artinya dengan lembut dan perlahan tariklah nafas yang dalam
dan saat hembuskan nafas dalam tempo lambat katakan kalimat
disebelahnya.

* Aku lepaskan… (hening sejenak)

* Aku bebaskan… (hening sejenak)

(Jika muncul gambaran memory, boleh gunakan teknik gambarannya dibuat
menjauh sampai hilang. Jika muncul suara, boleh gunakan teknik
suaranya dibuat terdengar makin perlahan sampai hilang.)

* Segala rasa marah.. (hening sejenak)

* Segala rasa sedih… (hening sejenak)

* Segala rasa kecewa.. (hening sejenak)

(boleh ditambahkan kata lainnya bila menurut Anda mengganggu emosi
Anda, lebih spesifik lebih baik)

* Yang bersemayam dalam diriku… (hening sejenak)

* Ke alam semesta dengan ikhlas… (hening sejenak)

* Sekaraaang…

3. Rasakan perasaan Anda saat ini, jika masih ada rasa, suara atau
gambaran kemarahan dan kawan-kawannya yang muncul, silahkan lakukan
kembali langkah 2 dalam kondisi Deep Trance.

Setelah Anda kuasai dan mahir dengan teknik ini, Anda dapat
mempraktekannya kapanpun dan dimanapun dengan melakukan langkah 1
tanpa harus pejamkan mata. Karena Deep Trance State bisa Anda ciptakan
kapanpun Anda perlu.

Setelah ransel berat tersebut lepas, maka Andapun siap untuk terbang
tinggi, setinggi dan sejauh yang Anda inginkan.

sumber :
mailis Money_Magnet@yahoogroups.com

Obama Bukan Presiden Indonesia !

Iwan Kamah - Jakarta

Beberapa jam setelah Senator Obama menang dalam pemilu, Presiden
Bambang Yudhoyono memberi ucapan selamat sambil sedikit bernada
"memohon", dengan mengingatkan masa kecil Obama di Indonesia. Siapa
tahu Obama agak berbaik dan punya kebijakan khusus untuk Indonesia .
Memang Presiden SBY punya kesempatan bertemu Presiden Barack Obama
hingga 20 Oktober 2009. Bisa menjadi tamu atau menjamu saat Obama
'welcome home" ke Indonesia .

Nada SBY itu menjadi cerminan publik Indonesia yang begitu antusias
merayakan kemenangan Obama, sehingga terkesan berlebihan. Bahkan,
kawan saya bilang, "orang Indonesia seperti orang Amerika yang tak
punya hak pilih".Hanya karena Obama pernah tinggal di Jakarta dan
berayah tiri pria Jawa, kita merasa Obama milik Indonesia . Yang kita
harus ketahui, Obama dipilih oleh rakyat Amerika. Dia harus membayar
harga itu mati-matian dengan menjalankan kebijakan yang menguntungkan
Amerika. Tidak peduli dengan negara lain. Apakah itu Kenya atau
Indonesia , ya kalau tak menguntungkan Amerika, buat apa dibela atau
diurusin.



"Hitler's birthplace syndrome"

Wajar kalau orang Indonesia semarak dengan kemenangan Obama. Belum
pernah dalam sejarah kita ada presiden negara asing yang punya kaitan
emosional dengan Indonesia seperti kasus Obama. Apalagi Obama akan
menjadi presiden dari negeri terkuat di dunia. Di Suriname, sebuah
negeri nan jauh di Amerika Selatan sana , memang banyak politisi dan
menteri berdarah Jawa. Bahkan mereka mencanangkan tahun 2012 akan ada
orang Jawa menjadi presiden Suriname . Ya, mau Amerika atau Suriname ,
tetap aja mereka akan bela dan mementingkan negeri mereka.

Kalau saya analisa, kaitan Obama dengan Indonesia mungkin bisa
dijelaskan dengan teori yang saya sebut "Hitler's birthplace
syndrome". Kalau mau dibilang sebuah penyakit, sindrom ini
memperlihatkan, bahwa memori, latar belakang dan memori seseorang
tidak akan membawa nilai positif terhadap tingkah lakunya.

Lihatlah Hitler. Dia kelahiran kota Wina , Austria . Namun dia
menyerbu negeri kelahirannya, setahun sebelum Perang Dunia Kedua
dimulai. Orang yang terkena gejala ini banyak. Umumnya orang
pemerintahan Amerika. Jenderal Dwight Eisenhower (kemudian menjadi
Presiden AS ke 34), harus menghancurkan Jerman dan akhirnya
mengalahkan Hitler. Padahal kedua orang tuanya berdarah Jerman. Henry
Kissinger, penentu kebijakan luar negeri AS selama tiga dasawarsa,
juga kelahiran Jerman. Tapi tak gunanya nostalgia itu bagi Jerman.

Lebih parah lagi, sewaktu Jimmy Carter (yang tak punya pengalaman luar
negeri) menjadi presiden AS ke-39, dia memilih seorang strategis
berotak cemerlang kelahiran kota Warzawa (Polandia). Namanya Zbigniew
Brzezinski, untuk menjadi Ketua Dewan Keamanan Nasional. Dalam
menjalankan kebijakannya, Brzezinksi harus menghancurkan reputasi dan
hegemoni negara-negara Pakta Warzawa (blok komunis), yang kala itu
sedang hangat-hangatnya perang dingin antara AS (kapitalis) dan Uni
Soviet (komunis).

Di Indonesia, memang ada beberapa orang pejabat asing kelahiran
Indonesia atau memiliki kaitan emosional dengan negeri ini. Tetapi hal
itu terbukti tidak bermanfaat.

Paul Wolwofitz, bekas dubes AS di Jakarta, arsitek Perang Teluk dan
mantan Presiden Bank Dunia, memiliki ikatan emosional dengan Jawa.
Istrinya pandai bicara Jawa dan lama mondok di sini waktu ikut program
AFS. Ya itu tadi, nostalgia ya nostalgia. Amerika tetap nomor satu.
Neneknya Lee Kuan Yew, pendiri Singapura berasal dari kota Semarang .
Lalu apa untungnya buat Indonesia ? Gak ada! Tun Abdul Razak, PM
Malaysia adalah keturunan bangsawan Bone, Sulawesi Selatan. Tapi tak
bermanfaat fakta itu untuk kita. Bahkan anaknya, Najib Razak, calon PM
Malaysia, merampas pulau Sipadan dari kita.

Lihat saja, apa untungnya Austria dengan Gubernur California Arnold
Scharwznegger (kelahiran Wina)? Nggak ada! Paling-paling cuma
dibuatkan patung di kota kelahirannya. Hanya sebatas kebanggaan!


Obama dan Ann Dunham

Sebaiknya kita tidak usah berharap dan berlebihan meminta sesuatu
dengan Obama untuk Indonesia . Dia dipilih dan dibiayai oleh rakyat
Amerika, bukan kita. Apalagi diperburuk bahwa Obama seorang dari
partai demokrat. Kita semua tahu, presiden AS dari partai demokrat
sangat kritis dan kurang menyukai Indonesia . Jimmy Carter dari
demokrat adalah presiden AS yang paling tidak suka dengan Indonesia .
Bill Cinton yang juga dari kubu yang sama, membiarkan (atau memang
memaksa) Timor Timur lepas dari Indonesia . Padahal, pendahulunya
(semuanya kaum republik), mendukung, membela dan mempertahankan posisi
membela Indonesia dalam kasus Timor Timur di panggung internasional.

Yang kita bisa tahu dari Obama adalah ibu kandungnya yang cinta negeri
kita. Dia mau menikah dengan pria Jawa dan bersusah payah tinggal di
Jakarta sambil menyelami budaya kita. Padahal di Honolulu lebih enak
dan nyaman. Kalau disuruh pilih siapa yang pantas menjadi presiden
AS, Obama atau Ann Dunham? Saya pilih ibunya.

Obama sendiri tidak pernah secara terbuka atau blak-blakan memuji
(memang tidak ada yang bisa dipuji) atau menyebut Indonesia dengan
nada bangga (memang tidak ada yang bisa dibanggakan) . Dia lebih
senang menyebut "pengalaman kecil saya di Asia Tenggara", daripada
"masa kecil saya di Indonesia ". Obama juga tidak aktif membela
Indonesia di Kongres. Beberapa anggota Kongres AS dibiarkannya, yang
sok ikut campur dan tidak mengerti masalah lokal sini, sampai berani
menggugat integritas Papua dengan Indonesia . Indonesia sudah menjadi
negeri asing bagi dia, seraya mengecam kaum militer Orde Baru yang
represif dalam bukunya.

Obama tinggal dan sekolah di Indonesia , karena terpaksa ikut ibunya,
bukan kemauan sendiri atau cinta dengan Indonesia . Ibunya-lah yang
cinta Indonesia . Sangat naïve meminta Obama punya perhatian khusus
kepada Indonesia .


Obama adalah senator cemerlang dan memiliki visi ke depan. Jadi dia
akan lebih rasional bertindak, sambil mengartikulasi sebuah hubungan
baik antara AS dan RI dengan rinci yang berpijak pada kepentingan
Amerika.

Untuk lucu-lucunya, lebih baik kita membantu dan membiayai partai
politik di Suriname seperti Kerukunan Tulodo Pranata Inggih (Partai
Kesatuan dan Persatuan) atau Pertjaja Luhur (Partai Buruh). Siapa tahu
mereka bisa menjadikan orang Jawa menjadi Presiden Republik Suriname .
Nah, yang seperti ini tentu sedikit beda dengan kasus Obama. Namanya
juga orang Jawa.

sumber :
http://community. kompas.com/ index.php/ read/artikel/ 1535

Perangkap Demokrasi

Penulis: Oleh: Ibrahim Akademisi
Universitas Bangka Belitung

“...demokrasi merupakan
perangkap bagi masyarakat yang tidak mampu untuk memahami substansi
dari
demokrasi. Tertipu oleh calon wakil rakyat lantaran pendekatannya yang
berlebihan menjelang pencoblosan menawarkan posisi yang berbahaya bagi
sistem
perwakilan.. .” WAKIL rakyat
merupakan terjemahan dari rakyatnya. Jika rakyatnya adalah penggemar
film-film
sinetron, maka mereka juga akan memilih pemimpin dari kalangan
selebritis. Jika
rakyatnya adalah orang-orang culas, maka mereka juga pasti memilih
wakil mereka
dari kalangan orang-orang culas. Wakil rakyat itu mencerminkan siapa
rakyatnya. Inilah gagasan dasar dari demokrasi yang diadopsi dari
demokrasi ala
Yunani yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Pemilu di Indonesia dan
hampir
semua negara yang menganut sistem demokrasi. Kita memang tidak mungkin
mengembalikan demokrasi Yunani dalam hal kelangsungannya sebagaimana
terjadi di
Athena dulu dimana Raja mengumpulkan semua warganya untuk dimintai
pendapat.
Mereka tidak membutuhkan bilik suara karena mereka tidak menganut
sistem
representasi. Tidak ada PPS, tidak ada KPPS, juga tidak ada KPU,
apalagi
milyaran rupiah sebagai ongkosnya. Demokrasi pada masa itu adalah
demokrasi substansi secara langsung dimana rakyat betul-betul ikut
memutuskan
kebijakan sang pemimpin. Untuk tidak mengatakannya purba, lantas untuk
menghemat
biaya, dewasa ini digunakanlah sistem pencoblosan. Dibangunlah TPS-TPS
yang
tersebar setiap 300 warga. Tujuannya efisiensi. Namun efisiensi itu
kemudian
dipertanyakan definisinya ketika ongkos berdemokrasi justru menjadi
sangat
mahal. Memang tidak mungkin untuk mengembalikan kejayaan demokrasi
langsung
sebagaimana digagas dulu di Yunani, namun meluruskan maknanya
barangkali perlu
dilakukan. Demokrasi perwakilan yang merupakan bentuk penyederhanaan
dari
sistem demokrasi langsung senafas dengan misinya, yakni perwakilan.
Wakil rakyat
merupakan terjemahan dari rakyatnya. Jika rakyatnya adalah penggemar
film-film
sinetron, maka mereka juga akan memilih pemimpin dari kalangan
selebritis. Jika
rakyatnya adalah orang-orang pragmatis,maka mereka juga akan memilih
wakil dari
kalangan pragmatis. Jika rakyatnya adalah orang-orang yang taat
beribadah,
mereka juga pasti akan memilih wakil yang suka beribadah, sebaliknya
jika
rakyatnya adalah orang-orang culas, maka mereka juga pasti memilih
wakil mereka
dari kalangan orang-orang culas. Demokrasi menganut sistem equity.
Suatu
situasi dimana warganegara ditempatkan dalam derajat kesesuaian yang
sama dalam
aksesnya terhadap sistem politik. Demokrasi menempatkan kesejajaran
sebagai
produk unggulan. Kesejajaran ini yang menjadi kelemahan sekaligus
kekuatan dari
demokrasi. Demokrasi memberikan jatah satu suara kepada satu nyawa yang
dianggap
dewasa tanpa pertimbangan apapun. Titik. Disinilah kekuatan dan
kelemahan itu bersenyawa dalam zat bernama demokrasi. One man one vote
adalah
kekuatannya, pada saat yang bersamaan jatah ini diberikan tanpa
memperhatikan
latar belakang pemiliknya. Tidak ada perlakuan yang berbeda. Politisi
dapatkan
satu suara, agamawan juga, tokoh masyarakat juga, pelacur satu suara,
preman
pasar satu suara, narapidana satu suara, residivis juga satu suara.
Apakah ini
menjadi sebuah kelemahan atau kekuatan dari demokrasi? Tergantung dari
sudut
pandang mana seseorang melihatnya. Saya pun tak dapat mendefinisikan
ini sebagai
sebuah kekuatan atau kelemahan dari sistem demokrasi. Baiklah, sekarang

mari melongok pada satu tahun menjelang penyaluran sistem representasi
tersebut.
Jika anda berjalan kemanapun, anda akan melihat begitu banyak poster
orang-orang
yang ingin memperkenalkan diri. Sarananya bermacam-macam dengan gaya
yang
bermacam-macam juga. Jika melihat kualitas calon, nyata bahwa mereka
menjadi cerminan gado-gado dari rakyat yang akan diwakilinya. Ada calon
wakil
rakyat yang (maaf) hanya tamatan SMA. Ini juga menjadi cerminan rakyat
kita yang
memang masih banyak tamatan SMA. Ada calon wakil rakyat yang
terindikasi
menggunakan ijasah palsu, ini juga semakin menegaskan bahwa rakyat kita
memang
banyak yang (kepepet) menggunakan ijasah palsu. Namun ada juga calon
yang
ternyata S2, walau sedikit. Lagi-lagi ini juga mencerminkan minimnya
lulusan S2
di negeri ini. Pendek kata, calon wakil rakyat mencerminkan rakyatnya.
UU yang mengatur tentang sistem perwakilan memang juga tidak
neko-neko.
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota DPR,DPRD, dan
DPD
menyederhanakan persoalan perwakilan. Mulai dari syarat pendidikan,
sampai pada
syarat umur. Anda cukup mengantongi ijasah SMA atau sederajat (termasuk
paket
C). Semuanya digampangkan. Yang menggodok UU ini pun nampak sangat
menyadari kelemahan mereka sehingga membuat persayaratan yang sederhana
dan
kontekstual. Tidak dicoba untuk memaksa calon wakil rakyat menyesuaikan
diri
dengan aturan yang lebih tinggi. Dalam sistem Trias Politika
sebagaimana
dianut Indonesia, pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan

yudikatif sangat jelas maksudnya. Legislatif harus mampu menjadi
lembaga kontrol
terhadap sistem dan kinerja eksekutif dan yudikatif. Itulah sebabnya
lembaga
legislatif berhak memanggil dan meminta pertanggungjawaban eksekutif
dalam hal
melaksanakan misinya sebagai lembaga kontrol. Namun saya kok khawatir
fungsi
kontrol ini tidak bekerja secara optimal lantaran standard rekruitmen
anggota
legislatif cenderung lebih disederhanakan di bawah eksekutif.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah,
legislatif mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Didalamnya
melekat kewenangan untuk membahas anggaran, membentuk Perda, dan
memberikan
pertimbangan. Soal kualitas memang tidak bisa disederhanakan hanya
dengan
pendidikan dan ini sangat debateble, namun mampukah fungsi legislatif
ini
bekerja jika kualitas legislatif berada di bawah kualitas eksekutif?
Saya sih
tidak yakin betul. Begini, pembuka sapaan yang panjang di atas
sebetulnya
ingin bermuara pada satu pesan singkat untuk masyakat luas, bahwa
demokrasi
merupakan perangkap bagi masyarakat yang tidak mampu untuk memahami
substansi
dari demokrasi. Tertipu oleh calon wakil rakyat lantaran pendekatannya
yang
berlebihan menjelang pencoblosan menawarkan posisi yang berbahaya bagi
sistem
perwakilan. Harus diakui bahwa banyaknya ketidakberesan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan di negeri bernama Indonesia ini mengarah
pada satu
hal: lemahnya pengawasan. Utusan kita di legislatif nyatanya tak dapat
berperan
banyak menghadapi hegemoni pemerintah. Berarti ada proses rekrutmen
yang salah
dalam sistem pemilihan utusan rakyat tersebut. Begitu banyak regulasi
yang mengatur tata kerja dan optimalisasi fungsi pemerintahan, namun
karena
pengawasan yang lemah, maka terciptalah peluang bagi praktik-praktik
yang
menyimpang. Saatnya seluruh rakyat di negeri ini menata hati dan
pikiran,
membeningkan akal dan jiwa, agar mampu berpikir secara jernih untuk
memutuskan
akan menitipkan suara pada siapa. Salah memilih wakil rakyat berarti
kita ikut
menghancurkan negeri ini dari dalam. Kesalahan memilih wakil membuat
kita harus
menunggu lima tahun lagi untuk meralatnya. Pikirkanlah !

sumber :
Bangka Pos edisi: Jum'at, 14 November 2008 WIB

Mengantisipasi Bencana Tsunami

Bencana Tsunami memang sulit diprediksi kapan terjadinya, tetapi
bersiap mengantisipasinya pun rasanya jadi pekerjaan yang jauh lebih
sulit.

Sistem peringatan dini yang efektif itu menjadi topik pada "Workshop
on The Application of Paleotsunami Science to Tsunami Mitigation in
Indonesia" di LIPI Bandung akhir pekan lalu.

Paleotsunami sendiri merupakan tsunami purba. Dari jejak masa lalu itu
diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang adanya tsunami dimasa
lalu. Toh, kejadian alam tampaknya adalah sebuah pengulangan dan
berpotensi kembali terjadi dikemudian hari.

Tinggal berapa besar kekuatannya saat menghantam daratan, inilah yang
sering mengundang penasaran. Namun itu bisa diprediksi dengan simulasi
yang ilmiah.

Dari sanalah langkah mitigasi berbasis. Satu yang pasti, tsunami
dipicu oleh gempa besar dan dapat dijadikan petunjuk bagi warga yang
merasakan. Tsunami Aceh 2004 muncul setelah digedor gempa berkekuatan
8,9 SR, demikian pula tsunami di Pangandaran dan selatan Jateng
terjadi usai gempa 6,8 SR pecah di Samudra Hindia pada 2006 lalu.

"Sekitar 90 persen tsunami dibangkitkan oleh gempa. Tsunami adalah
ikutan gempa," tegas peneliti tsunami, Dr Hamzah Latief.

Beberapa kali tsunami melanda kawasan tertentu, inilah yang dicoba
dicari jawabannya. Namun penelitian atas paleotsunami masih minim.
Catatan sejarah juga tidak berpihak. Nota tentang kejadian tsunami di
Indonesia hanya mencakup rentang waktu yang sangat pendek, dimulai 400
tahun yang lalu.

"Kejadian-kejadian tsunami sendiri biasanya memiliki waktu perulangan
lebih dari 400 tahun," tandas peneliti paleotsunami Pusat Geoteknologi
LIPI, Dr Eko Yulianto.

Eko bersama rekan-rekannya sedang meneliti tsunami di selatan Jawa
atas kejadian tsunami Pangandaran 2006. Berdasarkan penelitiannya, dia
mengungkapkan perkiraan adanya tsunami serupa dikawasan itu pada tahun
1921 melalui berkas endapan yang ditelisik timnya.

"Untuk lebih meyakinkan kami akan teliti pula endapan-endapan di
daerah-daerah lain seperti kawasan pantai Cilacap dan Sukabumi,"
katanya.

Kegunaan Alat

Hasil penelitian itu jelas akan berbicara banyak. Tapi
sejauh mana masyarakat meresponnya, inilah yang menjadi pertanyaan.
Pasalnya para pembicara dalam workshop itu ragu akan keefektivitasan
sistem peringatan dini yang mengutamakan teknologi usai tsunami
mengguncang negeri ini.

Alat-alat tersebut akan berguna apabila gempa berikut
tsunami susulannya memang memberikan kesempatan untuk lari kepada
masyarakat sedikitnya 30 menit, karena episentrumnya kemungkinan jauh
dari daerah terpaan. Dibawah limit itu, tampaknya masih perlu
diformulasikan.

"Ada kesan keberadaan teknologi menjadi penting. Padahal
alat peringatan dini tsunami seperti buoy yang dipasang disejumlah
pantai hendaknya dilengkapi pula dengan karakteristik wilayahnya
terkait jejak tsunami di kawasan itu. Bisa-bisa target dan kegunaan
alat itu menjadi tidak jelas," kata peneliti gempa, Dr Danny Hilman
Natawijaya.

Kebiasaan setempat akhirnya menjadi poin yang kembali
menjadi perhatian. Pengetahuan tradisional seperti smong yang
menyelamatkan banyak warga Simeuleu dari tsunami Aceh merupakan
warisan yang berharga.

Pengetahuan serupa seharusnya mulai mendapat perhatian
masyarakat yang memiliki kawasan rawan tsunami. Rasanya kebiasaan itu
juga tidak sulit untuk untuk dijadikan "buah bibir".

Dua kejadian tsunami tentunya menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang berguna sebagai bahan rujukan, sebagai
persiapan generasi berikutnya agar bersiap diri menghadapi tsunami
berikutnya yang bisa menyisakan bencana.

Tidak dalam jangka pendek manfaatnya, karena periode
tsunami bisa mencapai ratusan tahun. Anggaplah ini sebuah investasi
jangka panjang. Persoalannya, berapa lama kekonsistenan kita mampu
menjaga investasi itu.

"Bukan apa-apa, mengurus banjir yang tiap tahun datang
saja kita repot, apalagi periode panjang seperti ini," kata Danny
Hilman menyentil keseriusan semua pihak dalam merespon kejadian diatas
normal itu. (Setiady Dwie-60)

sumber :
Suara Merdeka, edisi Selasa 11 November 2008

Senin, 17 November 2008

Muslim Imperior

Tulisan ini adalah hasil renungan yang terinspirasi dari artikel karya
Ukhti Mirzah di sini dan di sini. Â Artikel tersebut berjudul
Fenomena Baru UIN, yang isinya adalah seputar curhat sang penulis terhadap keadaan memprihatinkan dalam proses belajar-mengajar di program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Dalam artikel tersebut, ukhti Mirzah mengomentari bagaimana para mahasiswa seperti dirinya terpaksa menerima kenyataan betapa kuatnya hegemoni kaum sekuler-liberal di kampus yang seharusnya melahirkan para pembela Islam tersebut. Mereka terpaksa diam dan manggut-manggut saja ketika mendengarkan kuliah dari para tokoh liberal seperti Kautsar Azhari Noer, Azyumardi Azra, Suwito, dan semacamnya.

Mereka juga terpaksa menurut ketika para dosen memaksanya untuk
menanggalkan predikat Subhaanahu wa Ta’ala (SWT) di belakang nama Allah dalam setiap makalah, tesis atau disertasi.  Hal yang sama berlaku juga untuk predikat shallallaahu ‘alaihi wa sallam (saw.) di belakang nama Rasulullah, bahkan terlarang juga menyebut beliau sebagai Nabi. Alasannya adalah karena yang mengakui predikat-predikat tersebut hanya orang Islam, sedangkan Non-Muslim tidak.

Lebih lanjut, para dosen juga memaksa mahasiswa untuk menanggalkan
kalimat-kalimat semacam Islam sebagai agama yang sempurna dan Islam
sebagai agama yang haq”.  Alasannya sama saja, yaitu karena yang
mengakui kesempurnaan dan kebenaran Islam hanya orang Islam saja, lain
tidak. Seolah-olah jika mengatakan suatu hal yang tidak disepakati semua orang, maka hal itu telah mengurangi keilmiahan sebuah karya tulis.

Membaca curahan hati ukhti Mirzah, saya teringat pada sebuah dialog yang diceritakan oleh salah seorang ustadz. Dialog tersebut adalah
antara Prof. Naquib al-Attas dengan seorang profesor lainnya yang
beragama Nasrani.

Saat itu, sang profesor Nasrani memprotes Prof. Naquib al-Attas karena dalam ceramah-ceramahnya selalu mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar, agama yang haq, dan sebagainya. Jawabannya kira-kira begini, Bagi seorang Muslim, saya tidak berhak untuk menyebut agama lain sebagai agama yang benar. Saya juga tidak menuntut orang lain
untuk mengakui agama saya sebagai agama yang paling benar. Kalau Anda
cukup yakin dengan agama Anda, Anda pun tak perlu menuntut pengakuan orang lain terhadap agama Anda.

Terlihat jelas bahwa jalan pikiran Prof. Naquib al-Attas jauh bersimpang dengan pemikiran para pengelola kampus UIN Syarif Hidayatullah. Yang satu percaya diri dengan keputusannya memeluk agama Islam, yang satunya lagi ketahuan jelas inferiornya.

Jika para dosen UIN bersikeras dengan cara berpikir gaya inferior seperti itu, maka mereka takkan pernah mendapat manfaat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, padahal keduanya adalah sumber hukum dan pemikiran yang
paling utama bagi umat Islam. Keduanya penuh dengan klaim sepihak yang hanya diakui oleh umat Islam, dan memang tak ada tuntutan bagi kaum Non-Muslim untuk ikut mengakuinya.

Bahkan secara khusus Allah SWT menurunkan surah Al-Kaafiruun yang mengajari kita untuk mempertegas perbedaan keyakinan kita dengan orang-orang kafir. Enam ayat singkat (yang sayangnya hanya sering diulas ayat terakhirnya saja) itulah yang mendidik jiwa seorang Muslim untuk memiliki kepercayaan diri yang kuat terhadap agamanya, seperti yang telah ditunjukkan oleh Prof. Naquib al-Attas.

Karena cara berpikirnya yang sudah tidak nyambung dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka bisa dipastikan pengajaran yang diberikan oleh para dosen di UIN tersebut tidak akan pernah sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Barangkali sudah sepatutnya mereka bertanya pada diri sendiri : ketika mengucap syahadatain, apakah mereka meminta persetujuan dari Non-Muslim dulu sebelumnya? Ketika bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah, apakah mereka minta ijin dulu kepada mereka yang tidak ber-aqidah Tauhid?

Ketika bersaksi bahwa Muhammad saw. adalah utusan-Nya, apakah mereka minta persetujuan Joseph Schacht, Goldziher, atau para orientalis semacamnya?

Orang-orang sekuler-liberal memang ada di barisan terdepan dalam hal melecehkan (atau setidaknya melucuti pujian terhadap) Allah SWT dan Rasul-Nya. Guntur Romli, sebagai contoh, seringkali hanya menyebut “Muhammad”, tanpa pernah menyebut Nabi atau Rasulullah, apalagi sampai repot-repot menyebut shallallaahu alaihi wa sallam.

Untuk kebiasaan yang satu ini, mereka tidak hanya membolehkan atau
menganjurkan, namun justru mewajibkannya (contoh kasus di UIN). Ironisnya, mereka pula yang memaksa MUI dan seluruh umat Islam untuk bersikap toleran terhadap aliran-aliran sesat seperti aliran Salamullah (Lia Eden), Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dan Ahmadiyah, dengan alasan : agama adalah soal keyakinan, dan karenanya relatif dan tak bisa dipaksakan.

Jika memang benar agama adalah soal keyakinan, mengapa umat Islam tak boleh mempertahankan keyakinannya dalam makalah-makalah yang dibuatnya?
Mengapa kita tak boleh menyebut “Nabi Muhammad saw.” hanya karena
orang-orang Non-Muslim tidak mengakui beliau sebagai Nabi dan tidak pula ber-shalawat atas beliau?

Kita perlu melakukan refleksi ulang kepada tujuan awal pendirian UIN
(dulu IAIN). Ust. Adian Husaini telah memaparkan keprihatinannya secara panjang lebar dalam artikel “Tujuan Didirikannya IAIN” perihal betapa melencengnya arah perjuangan UIN kini dari tujuan pendirian IAIN dahulu. Awalnya, IAIN didirikan untuk memperjuangkan Islam.

Sepuluh-dua puluh tahun ke depan, apa yang bisa diharapkan dari kampus-kampus yang dipenuhi dengan pemikiran inferior? Â Perjuangan macam apa yang bias mereka hasilkan? Â Bagaimana mereka akan membela Islam, sementara mempertegas keyakinannya di hadapan umat Non-Muslim pun mereka tak bernyali?

Menilik tujuan awal pendirian IAIN (yaitu untuk membela Islam), maka semua karya tulis ilmiah yang dihasilkannya, baik makalah, skripsi, tesis dan disertasi, seharusnya memang ditujukan untuk membela keyakinan Islam..

Tidak perlu hirau dengan pendapat orang, karena istilah “membela Islam sudah menjelaskan adanya perbedaan pendapat yang terjadi antara orang-orang Islam dan Non-Muslim, sekaligus menjelaskan sikap kita dalam perbedaan pendapat tersebut. Sungguh aneh jika frase membela Islam kemudian diterjemahkan dalam sikap ragu-ragu, malu-malu, bahkan takut dalam menyatakan pendirian keyakinannya sendiri.

Republik Indonesia yang kita cintai ini tak pernah lahir dari orang-orang yang takut menyatakan pendiriannya. Para pendiri negara secara
sepihak memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia tanpa
bertanya-tanya dulu pada Jepang, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, atau PBB..

Kita yakin kita pantas merdeka, dan karena itu kita memerdekakan diri
kita sendiri. Jika para dosen UIN begitu takut mempertunjukkan keyakinannya pada Islam, mungkin sudah saatnya mereka mempertanyakan keislamannya sendiri.
***
sumber :
http://akmal. multiply. com/journal/ item/698

Surat Barack Obama tentang Islam

There has been a lot made in the recent weeks about the Muslim history
of my family. Some of the things that have been said are true, others
are false, so I am writing this letter to clear up the
misunderstandings on this issue.

Yes, it is true that I have a name that is common amongst Kenyan
Muslims where my father came from and that my middle name is Hussein.
Barack is a name which means "blessing" and Hussein is a masculine
form of the word beauty. Since there is nothing inherently wrong with
the concept of blessings from God and the beauty He creates I fail to
see the problem with these names. Some will say wouldn't it be a
problem to have a president with a name similar to the deposed and
executed former dictator of Iraq ? My answer to this is simply no;
rather it is the strength and beauty of America that the son of an
African man with a "funny sounding" name, born under British Colonial
Rule, can now be a serious candidate for the presidency of the United
States .

My father was a Muslim and although I did not know him well the
religion of my father and his family was always something I had an
interest in. This interest became more intense when my mother married
an Indonesian Muslim man and as a small child I lived in Indonesia and
attended school alongside Muslim pupils. I saw their parents dutifully
observing the daily prayers, the mothers covered in the Muslim hijab,
the atmosphere of the school change during Ramadan, and the
festiveness of the Eid celebrations.

The man my mother was married to was not particularly religious; but
he would attend the mosque on occasion, and had copies of the Quran in
different languages in the home, and books of the sayings and life of
the Prophet Muhammad. From time to time he would quote Islamic phrases
such as "no one truly believes until he wants for his brother what he
wants for himself", "oppression is worse than slaughter", and "all
humans are equal the only difference comes from our deeds".

Growing up in Hawaii with my mother and her grandparents Islam
largely escaped my mind. My mother installed in me the values of
humanism and I did not grow-up in a home were religion was taught.

It was later while I attended college at Columbia University and
Harvard Law that I became reacquainted with Muslims as both schools
had large Muslims student populations. Some of them were my friends
and many came from countries that our nation now has hostile relations
with. The background I had from my early childhood in Indonesia
helped me get to know them and learn from them and to me Muslims are
not to be looked upon as something strange. In my experiences up until
college a Muslim was no less exotic to me than a Mormon, a Jew, or a
Jehovah's Witness.

After college I settled in my adopted hometown of Chicago and lived
on the South Side and worked as a community organizer. Chicago has
one of the largest Muslim populations in America (estimated to be
around 300,000) and Muslims make-up some of the most productive
citizens in the area. I met countless numbers of Muslims in my job as
an organizer and later on in my early political career. I ate in their
homes, played with their kids, and looked at them as friends and peers
and sought their advice.

Therefore, when the tragic terrorist attacks of 9-11 occurred I was
deeply saddened with the rest of America , and I wanted justice for
the victims of this horrific attack, but I did not blame all Muslims
or the religion of Islam. From my experience I knew the good character
of most Muslims and the value that they bring to America . Many, who
did not personally know Muslims, indicted the entire religion for the
bad actions of a few; my experience taught me that this was something
foolish and unwise.

Later I had the chance to visit the homeland of my father and meet
Muslim relatives of my including my grandmother. I found that these
were people who wanted the same things out of life as people right
here in America and worked hard, strive to make a better way for
their children, and prayed to God to grant the success.

This is what I will bring to the office of the Presidency of the
United States . I will deal with Muslims from a position of
familiarity and respect and at this time in the history of our nation
that is something sorely needed.

Barack Obama

San Francisco, California , USA

Sumber:
http://front-line.blogspot.com/2008/11/letter-from-barack-obama-on-his-muslim.html

Rabu, 05 November 2008

Obat Batu Ginjal (2)

2 atau 3 siung bawang merah diiris-iris tipis, dimasukan ke dalam air degan kelapa hijau yang dipetik tanpa dijatuhkan ke atas tanah kemudian ditutup. Setelah 10 menit, air kelapa dikucek dan diminum sampai habis. Ini berhasiat juga utk vitalitas tubuh.

Obat Batu Ginjal (1)

Kuning telor ayam kampung dimasukan ke dalam air degan kelapa hijau yg masih butiran. Kemudian dikucek sampai rata. Diminum sampai habis 2 hari sekali. Maka batu ginjal akan keluar dalam bentuk butiran pasir lewat penis.

Selasa, 04 November 2008

Kunci Syurga

Syurga itu berada di balik pintu, cuman yang jadi masalah adalah kita lupa menaruh kunci pintunya dimana.