Jumat, 26 Desember 2008

World without borders

by Samir Sobhi
takes the concept of global village to its logical
conclusion



Sociology tells us how we evolved from a nomadic life to settle in
villages before moving on to form cities, states and federations.
Europe now is becoming one nation, a continent-state, a place where
countries such as Britain, France, Russia, Italy and Greece melt in
one big pot. Europe inspired modern civilisation and much of today's
international economy. Its example is hard to resist.

How did Europe manage to have a single market and currency? How long
will it take Europe before it becomes a single country, a continent
without borders? Like a chess player Europe thinks ahead, rearranging
its domestic affairs and contemplating the moves that lie ahead.

In most European countries parties vie for ways to satisfy the
electorate. Sometimes these multi-party systems have spawned a reality
in which two parties take the lead, as is the case in the UK. Will the
day come when we hear of a European parliament, comprised of
representatives from across the continent, reacting to the policies of
one cabinet, with one president or prime minister taking charge?

A one-state Europe may not be as far-fetched as some think. If we
consider the history of the UK we can see how the unthinkable becomes
gradually accepted. The Tories were in control of British political
life for most of the last century. They have won 20 out of the last 26
parliamentary elections.

In 1993 the Tories were in trouble because of divisions over the
Maastricht treaty. Then Prime Minister John Major dismissed the
objections of sceptics and decided to sign up. This was not the first
instance of resistance in the UK to integration with Europe. Following
WWII Labour opposed the creation of joint European organisations. At
the time analysts supposed Britain was jealous of losing its status as
a world power in an international scene increasingly dominated by the
Americans.

Now it seems that the march for European unity is unstoppable. It may
take a few years but with Austria, Finland and Sweden finally in there
is no turning back.

Winston Churchill said it would happen. In the late 1940s, when the
Tories were in opposition, he made speeches calling for Europe to
unite. His views were shared by several Tories, including Harold
Macmillan. But the Tories changed their mind later, rejecting several
pan-European projects, including the European Coal and Steel
Community. In 1952 Anthony Eden argued that Britain could not afford
to contemplate joining a European federation.

Dorriya Shafiq Basiouni, author of Unified Europe, believes that
changing political life in Europe will influence the politics of the
Third World. A unified Europe is too powerful a role model to ignore.
If only for economic reasons political boundaries are likely to erode.
We can see it already happening, in the omnipresence of satellite
communication, in converging lifestyles and in increased
standardisation. Continents are becoming states and the world will
follow.

The global village -- with six billion inhabitants doing more or less
the same things -- is no longer a figment of imagination. It is where
we live.

Dari Tsunami ke Surga

Viddy AD Daery

Korban-korban tsunami ramai-ramai digendong malaikat menuju surga, dan
setelah rasa "super jet-lag" mereka sudah reda, mereka disuruh memilih
istana-istana supermewah mereka sendiri, disambut bidadara-bidadari
tampan-jelita, ramah tamah, bikin mereka kikuk karena seumur-umur
hidup di negara kaya-raya, tapi tak pernah mereka rasakan nikmatnya,
karena kekayaan negara lebih banyak diangkut ke ibu kota negara, atau
ke kota-kota dunia tempat mukim para investor asing yang menjadi
begundal pejabat negara untuk memeras aneka tambang sampai hampir
ludes.

Hampir-hampir mereka lupa pada masalahnya, karena terlena oleh
fasilitas supermewah itu, jika tidak ada panggilan dari malaikat
koordinator:
"Apakah kalian tidak ingin melihat kota dan negeri kalian
pascatsunami? Jika ingin, maka segeralah berkumpul di aula besar!
Jangan terlambat!"

Maka berbondong-bondonglah korban tsunami itu menuju ruangan
superbesar dan sangat indah dan nyaman lengkap dengan segala
fasilitas, dan di dinding-dindingnya terpampang layar-layar tv raksasa
yang memperlihatkan tayangan-tayangan korban tsunami.

Kota yang dulunya indah kini remuk tak berbentuk, gedung-gedung
hancur, rumah-rumah rata menjadi sampah raksasa, dan ribuan mayat
bagaikan taburan bangkai akibat pembasmian massal (yaa… seperti kita
semua juga saksikan di layar-layar televisi dunialah).

"Lihat! Itu mayatku! Tertindih bangkai mobil!" teriak seseorang.
"Ya, ya… aku ingat, aku berlari di tengah air hitam yang makin
deras…
tiba-tiba aku merasa ditindih mobil yang terguling dan melibasku…
lalu
kami digulung air bah… lalu aku tak ingat apa-apa… dan aku
terbangun
justru telah dalam gendongan malaikat sudah hampir masuk gerbang surga
tanpa pemeriksaan hisab!" seru yang lain.

Seorang ibu-ibu berbaju mukena putih terus saja melihat layar-layar
itu sambil terus-menerus membaca ayat-ayat Alquran yang dihafalnya.

"Masya Allah… itu mayat-mayat orang-orang sedesaku… Cuma ditumpuk
begitu saja… lalu digaruk pakai traktor lantas dibuang ke sebuah
lubang besar… gilaa… waah, aku harus memberitahukan hal ini kepada
Said, Maskirbi, Nurgani Asyik… di mana mereka yaa… hmmm… ..ah,
pasti,
mereka juga tengah memelototi layar dan menyumpahi para serdadu yang
main garuk itu…gilaa…ini mengingatkan zaman DOM saja …"

Tiba-tiba terdengar suara malaikat yang melayang-layang di udara:
"Sudaah… sudaaah… tak usah disesali lagi apa pun yang terjadi
karena
memang semua kehidupan ini berada dalam surat takdir Allah SWT…
apakah
kalian menyesal dengan adanya tsunami? Apakah kalian tidak puas dengan
kenyataan dan kehidupan kalian sekarang di surga?"
"Insya Allah, kami puaassss, yaa malaikaaat…" seru orang-orang dengan
takzim.
"Mau melihat lagi negeri kalian sebelum tsunami? Nah lihat lagi layar
televisi," kata malaikat.

Dan terpampanglah gambar-gambar yang kita lihat sehari-hari di sekitar
rumah kita, atau malahan mungkin rumah kita sendiri… rumah-rumah yang
sumpek, reyot, halaman becek dan bau, tergenang air dan lumpur, tikus
dan ayam berebut makanan, sampah menumpuk di mana-mana. Aspal di ujung
gang juga becek dan berlubang-lubang, dan angkot-angkot berseliweran
saling senggol, dan sopirnya saling maki… di perempatan jalan tampak
polisi acuh tak acuh, dan di ujung perempatan, para preman justru
petentang-petenteng memalak angkot-angkot yang melintas dan sesekali
juga kepada pejalan kaki. Ya, saya kira persis yang kita lihat
sehari-harilah.

"Sebetulnya… negeri kami juga diberi Allah kekayaan, ya malaikat…
dan
kami berusaha bersyukur untuk itu, tapi kami belum pernah merasakan
nikmatnya sedikit pun, jangankan rumah mewah, rumah sederhana kami pun
selalu bocor di kala hujan, kena debu di kala kemarau… ..dan… kami
selalu takut di akhir bulan ditunggu aparat pajak, listrik, telepon,
ini-itu…belum lagi kerusuhan dan pertikaian antarserdadu
kelompok-kelompok yang bertikai…pokoknya kami tak pernah merasa
tenteram di negeri kami sendiri…"

"Ya, ya, ya… nah, apakah kalian ingin tahu ke mana uang-uang kekayaan
kalian dibawa para maling itu? Lihat layar televisi lagi!"

Dan terpampanglah sebuah "features" perjalanan uang, dari
tambang-tambang yang digaruk, lalu dijual ke perusahaan-perusahaan
multinasional, lalu uangnya "dimainin" dulu, sebagian kecil disetor ke
negara, sedangkan 99%-nya dibagi-bagi ke kantong para pejabat dan para
eksekutif perusahaan tambang.

Lalu para pejabat itu membeli tanah berhektare-hektare dan di atasnya
dibangun istana megah lengkap dengan lapangan luas, diapit kolam
renang, ruang makan, musala dan…ya…seperti yang kita lihat di
kompleks-kompleks pejabat perusahaan negaralah… dan kini hampir
setara
dengan istana yang kini diberikan Allah kepada rakyat korban tsunami
itu.

"Nah, sekarang aku mau tanya, para pejabat dan pemimpin itu sudah
berkali-kali menipu kalian, sudah ratusan kali mengkhianati kalian,
kok kalian masih saja memilih mereka menjadi pemimpin kalian dalam
setiap pemilu?"
Semua terdiam.

"Sebaliknya, para pemimpin yang mempunyai komitmen kuat hendak
menyelamatkan kalian dari bencana, malah kalian caci-maki, kalian
fitnah, bahkan nyaris kalian bunuh…''
Orang-orang itu semakin tertunduk malu.

"Sekarang, di surga memang tidak ada hukuman, tapi aku mau kalian
mendengar dan menyaksikan seorang bidadari membaca puisi bagus yang
bisa kalian renungkan untuk mengalkulasi kebodohan-kebodohan kalian."
Dan tampillah seorang bidadari jelita, yang kulitnya putih bersih
bagaikan susu, sedang susunya sendiri tampak besar dan mantap, sangat
mempesona, dengan tenang dan percaya diri serta berwibawa berkata:
"Ini aku akan bacakan puisi karya penyair yang disia-siakan di negeri
kalian sendiri, dicemooh di koran-koran maupun di forum-forum seniman,
karena memang negeri kalian negeri terkutuk, di sana umumnya para
penyair hanya memuja-muja sastrawan yang menulis puisi seks, atau
mengenai orang gila, atau bahkan cuma mengenai celana dalam, sarung
dan bahkan tak jarang membuang waktu bicara tiga hari tiga malam
mengenai "nonsense", yaitu suatu absurdisme yang sia-sia dan tak
memberi kepositifan apapun untuk kehidupan. Tapi kalian sangat memuja
hal-hal seperti itu. Kalian bilang; ''memberi sesuatu yang sia-sia…
memberi arti sesuatu yang kelak retak…'' Kalian memang pintar bicara,
tapi kelemahan kalian adalah salah atau tidak, kalian suka ngotot
minta dianggap paling benar..''
"Memang terkadang penyair yang kalian puja juga menulis mengenai
penderitaan, tetapi ironisnya yang ditulis adalah penderitaan bangsa
lain, seperti penderitaan Frida Kahlo atau Erendira dari Amerika
Latin, seakan-akan di sekeliling kalian tidak ada orang menderita yang
bisa ditulis, nyatanya tetangga sebelah rumah kalian sendiri makan
saja susah kan? Kalau menulis mengenai bangsa yang terjajah adalah
menulis mengenai Bahama atau bangsa kepulauan-kepulauan Hibrida,
padahal bangsa kalian sampai kini dijajah dan ditindas oleh para
pemimpin kalian sendiri…''

"Nah, sekarang kalian dengarkan karya emas penyair yang kalian
sia-siakan ini. Penyair ini justru dihargai di luar negeri, di
Australia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand dan sebagainya,
bahkan puisi-puisi penyair ini dimuat di berbagai situs website puisi
dunia… nah coba kalian dengarkan."

Ulang tahun kebodohan
Kami selalu bernyanyi-nyanyi menyanyikan kebodohan kami
Kami selalu bertepuk tangan berirama, melagukan kemiskinan kami
Kami selalu menari dan berdansa merayakan masa depan suram kami
Selamat ulang tahun, selamat panjang umur
Wahai masa depan bangsa yang kabur
Kamilah bangsa keledai
Yang selalu jatuh ke lubang yang sama
Berkali-kali, berjuta-juta kali
Tapi entah kenapa
Tak sadar-sadar juga
Ya Allah tunjukilah kami jalan yang benar
Jangan biarkan kami bagai domba-domba yang kesasar

Selesai membaca puisi, bidadari itu langsung melayang tinggi lalu
hilang. Tapi tak ada tepuk tangan, semua diam… hening… dan
tiba-tiba
satu per satu mereka mulai menangis mengguguk dan akhirnya pecahlah
tangis yang riuh rendah, memenuhi aula besar hingga suaranya bagaikan
koor jerit yang menyayat hati, menyesali kehidupan negeri mereka yang
bodoh dan biadab.

Dan air mata itu terus menggenang dan mengalir menuju ke selokan
surga, terus menuju pembuangan dan akhirnya dibuang menjadi hujan
deras yang turun ke bumi, menjadi hujan yang terasa aneh di bumi,
karena hujan ini membawa hawa dingin yang menyayat, dan jika turunnya
malam hari, hujan itu menyebarkan gairah bertobat kepada insan-insan
yang suka bangun dan salat malam.

Hujan itu membuat insan-insan itu juga ikut menangis, menangisi
negerinya yang tak kunjung sembuh dari kebodohan dan kemalangan yang
terus-menerus berlangsung hampir setiap hari.

Bahkan, wartawan media massa hampir tak pernah "mencari-cari atau
membuat" berita, karena berita telah datang sendiri, dan setiap berita
musibah amat layak tampil di halaman satu atau headlines.

Malahan, amat sangat sering juga satu hari terdapat lima puluh jenis
musibah sekaligus, sehingga ada harian Koran KREATIF yang sangat
kreatif, dengan memperpanjang ukuran halaman satunya hingga lima
meter, karena saking banyaknya berita musibah.

Musibah itu tentu bukan hanya musibah bencana alam, tetapi juga
musibah tahun ajaran baru, musibah liburan, musibah belanja, musibah
beras, musibah listrik, musibah BBM, musibah agama, bahkan hiburan pun
menjadi musibah, karena hiburan yang ada hampir 99,9% berupa hiburan
yang merusak moral bangsa.

Bahkan, sebuah malam amal "peduli musibah bangsa" pun menjadi musibah
bangsa juga, karena pada malam amal itu semua jenis pertunjukan
diwajibkan yang berjenis maksiat, karena budayawan yang menjadi
promotor malam amal itu berpendapat bahwa "tak semua musibah harus
ditangisi, ada kalanya musibah juga harus dirayakan."

Di surga sana, malaikat sudah membocorkan rahasia kepada korban-korban
tsunami yang sedang menangis dua hari dua malam itu:
"Heii, kuberi tahu yaa… tsunami itu bukan apa-apa, belum seberapa…
lihat saja… bangsamu masih saja banyak yang bermaksiat kok meski
tsunami bagi kaumku, kaum malaikat… sudah merupakan musibah yang amat
mengerikan…lihat saja…Allah sudah mulai menugasi kami menyiapkan
superbencana yang pernah membuat kami menangis setahun penuh… saking
beratnya kami melaksanakan tugas bencana itu…yaitu…KIAMAT
KUBRO….huaaaaawwww…huaawwwww….." Malaikat pun menangis sendiri
dengan
suara yang mengguntur dan seluruh tubuhnya bergetar hebat...

Seorang penyair di bumi mendengar suara tangis itu
mengguntur-menggeledek di sore hari yang mendung pekat tanggal 19
Januari 2005. Kini penyair itu menunggu…hitungan malaikat "SEGERA"
itu
apakah sehari lagi, sebulan lagi, setahun lagi atau seratus tahun
lagi???? Wallahua'lam bissawab.

Raya Ulujami, 19 Januari 2005

BHP dan Peran Serta Masyarakat

Oleh : Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma

ADA mainan baru bagi para praktisi dan pemerhati pendidikan di
Indonesia, namanya badan hukum pendidikan (BHP). Kontroversi soal BHP
mencuat ketika DPR mengesahkan RUU BHP minggu lalu, dan sebagian
mahasiswa meresponsnya dengan cara biasa: demonstrasi, bahkan hingga
ke Gedung DPR. Di Makassar kegaduhan soal BHP diperparah aksi saling
lempar dan saling sikut antara polisi dan mahasiswa. Argumentasi
sederhana yang menggerakkan demonstrasi mahasiswa dan penolakan
terhadap RUU BHP dari para pengamat pendidikan adalah bahwa BHP kelak
akan membuat pendidikan menjadi mahal serta melepaskan tanggung jawab
pemerintah untuk memberikan pendidikan gratis kepada masyarakat.
Pertanyaan sederhananya adalah benarkah sebuah produk undang-undang
yang akan dibuat oleh pemerintah dan DPR membuat mereka lalai dan
menyengsarakan rakyatnya?
Sebagai sebuah konsep yang cukup penting bagi upaya reformasi bidang
pendidikan di Tanah Air, rancangan undang-undang BHP sebenarnya
merupakan kelanjutan dari amar Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal tersebut dinyatakan agar
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan.
Ketentuan tentang badan hukum pendidikan itu akan ditetapkan dengan
undang-undang tersendiri.
Secara konseptual tujuan RUU BHP sebagai sarana untuk meningkatkan
peran serta dan partisipasi masyarakat memang cukup ideal. Bahkan dari
aspek pemberdayaan masyarakat, RUU BHP merupakan semacam revolusi
diam-diam dari pemerintah untuk memberikan kembali beban tanggung
jawab pendidikan kepada masyarakat. Karena seperti masa lalu, peran
dan kontrol masyarakat terhadap pendidikan lumayan baik. Hal itu dapat
ditunjukkan dengan tingginya minat masyarakat untuk aktif terlibat
dalam sebuah proses keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Namun, pasca-Instruksi Presiden SDN Nomor 10 Tahun 1973, pemerintah
secara terstruktur serta perlahan tapi pasti mulai mengambil alih
kepemilikan sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik
pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratis dan sentralistis.
Itulah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan karena
pemerintah secara jemawa memaksakan kehendaknya membangun sistem
ketergantungan yang mengubah
secara total mentalitas masyarakat untuk selalu meminta kepada
pemerintah.


Bahkan jika dilihat dari aspek tujuan, RUU BHP berpotensi untuk
membuat sebuah kesadaran baru bagi masyarakat agar manajemen
pendidikan kita haruslah dikelola berdasarkan kebutuhan
sekolah/madrasah sebagai bentuk otonomi manajemen pendidikan pada
tingkat kepala sekolah/madrasah dan guru yang dibantu masyarakat.
Selain itu, baik Undang-Undang Sisdiknas maupun RUU BHP dimaksudkan
pula sebagai upaya untuk menghapuskan diskriminasi antara pendidikan
yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat,
serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum, yang
pada akhirnya masyarakat akan memperoleh kepastian hukum dalam
menerima pelayanan pendidikan secara bermutu, tidak diskriminatif,
berprinsip nirlaba, serta masyarakat bersama-sama dengan sekolah dapat
mengelola dana secara mandiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita
pendidikan yang mereka terapkan dalam visi dan misi sekolah. Sekali
lagi pertanyaan sederhananya adalah apakah
pemerintah telah memenuhi kewajibannya dalam membina dan
mengembalikan peran, fungsi, dan tanggung jawab masyarakat terhadap
sekolah/madrasah?

Mengembalikan peran masyarakat
Masyarakat sebagai klien sekaligus konsumen bidang pendidikan dalam
kedua undang-undang belum sepenuhnya dijamin dan diberdayakan
pemerintah. Dari prioritas pembangunan pendidikan, hampir tak ada
program yang secara spesifik menyebutkan program pemberdayaan terhadap
komunitas sekolah apa yang dilakukan pemerintah. Bahkan program
semisal kampanye dan penyadaran tentang pentingnya masyarakat ikut
bertanggung jawab terhadap lingkungan belajar anak-anaknya, minimal
sekolah terdekatnya pun tak dilakukan. Konsep komite sekolah yang
sejauh ini ada sayangnya tidak diteruskan sebuah program yang
berkesinambungan, misalnya pelatihan yang memungkinkan komunitas
sekolah berkontribusi secara ajek dan jelas dalam ikut mengawal proses
pembelajaran di sekolah. Komunitas sekolah melalui komite sekolah saat
ini tak jauh berbeda dengan zaman Orde Baru dengan POMG-nya yang hanya
merupakan kepanjangan tangan pemerintah dan tukang stempel sekolah
untuk mengesahkan
program-program yang rata-rata justru memberatkan masyarakat.


Praktik distribusi dana bantuan operasional sekolah (BOS), misalnya,
meskipun ada keterlibatan komite sekolah, tetapi pada praktiknya di
banyak sekolah peran tersebut sangat lemah karena komunitas tidak
pernah dilatih dan diajak berpikir bersama merumuskan
kebijakan-kebijakan sekolah. Padahal seyogianya masyarakat memiliki
legitimasi dan hak untuk ikut terlibat dalam proses manajemen sekolah
(Dunn, 1998). Keberadaan BHP jangan-jangan juga merupakan alasan
pemerintah untuk melakukan intervensi tambahan terhadap
ketidakberdayaan masyarakat selama ini dalam berhadapan dengan seluruh
kebijakan pengembangan sekolah.
Karena itu, sebaiknya pemerintah merapikan dulu konsep dan eksistensi
komite sekolah di lapangan dengan turun sendiri, paling tidak melalui
bantuan para akademisi di kampus-kampus, untuk melakukan identifikasi
terhadap kemampuan masyarakat dalam berinteraksi dengan sekolah.
Masyarakat harus dilatih dalam sebuah program yang memadai agar mereka
juga menjadi lebih berdaya dan tidak dijadikan bulan-bulanan pihak
sekolah dan otoritas pendidikan. Jika hal itu tak dilakukan, jangan
berharap RUU BHP akan efektif dan efisien karena pasti akan
bermunculan kembali konflik-konflik baru di bidang pendidikan yang
bersifat lokal, persis seperti konflik-konflik yang terjadi dalam
kebijakan pilkada karena hal itu menyangkut ranah hukum. Dengan
demikian, segregasi di masyarakat akan semakin tajam dan proses
pendidikan akan terganggu.
Pentingnya mengembalikan peran masyarakat agar bertanggung jawab
terhadap persoalan pendidikan di tingkat lokal melalui sebuah program
pemberdayaan yang terstruktur dan sistematis adalah tuntutan yang
harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah. Jika masyarakat paham
tentang penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan
sekolah, mengerti meski sedikit tentang performance indicators baik
yang berkaitan dengan siswa dan guru, serta paham tentang arah
pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan baik. Pengetahuan dasar dan
keterampilan tersebut adalah hanya beberapa di antara program yang
harus dilatihkan kepada masyarakat kita (Boyd and Claycomb, 1994).
Bahkan ujung dari keterampilan tersebut akan membawa masyarakat kita
cerdas dalam merencanakan pembiayaan pendidikan sehingga masyarakat
tak melulu curiga karena mereka selain dilibatkan, juga paham dan
mengerti hal-hal teknis tersebut.


Karena itu, penting diperhatikan bagaimana seharusnya pemerintah
merencanakan program pemberdayaan komunitas sekolah, paling tidak
sebelum RUU BHP menjadi undang-undang yang siap untuk
diimplementasikan. Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling
tidak mencakup program pemberdayaan orang tua (parent empowerment) dan
kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and
teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian tentang peran
serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan
sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal partnership) merupakan
strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh besar kepada hasil
belajar siswa (Bauch and Goldring, 1998).
Dari program pemberdayaan ini akan muncul kesimpulan, apakah misalnya
sebuah komite sekolah harus dipilih atau ditunjuk otoritas pendidikan.
Jika masyarakat tahu karena diberdayakan melalui sebuah program,
sangat mungkin akan terjadi banyak masalah yang muncul di sekitar
pemilihan dewan tertinggi baik di tingkat sekolah maupun ketika BHP
akan dilaksanakan. Namun, hal itu diharapkan akan menjadi pertanda
bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah. Banyak kasus
ditemukan bahwa semakin demokratis masyarakat dalam merencanakan
kebijakan sekolah maka akan semakin baik kualitas sebuah proses
pendidikan akan berlangsung (Chibulka, 1997; Resnick, 2000).
Selain program pemberdayaan masyarakat, masalah penegakan hukum (law
enforcement) bidang pendidikan harus lebih dipertegas undang-undang.
Jangan sampai jika terjadi penyimpangan terhadap undang-undang
sanksinya menjadi tidak jelas. Banyak sekali contoh pelanggaran hak
konstitusi yang dilakukan pemerintah, tetapi lemah dalam hal penegakan
hukumnya. Misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas disebutkan bahwa
gerakan reformasi menuntut penerapan prinsip bahwa otonomi di tingkat
sekolah akan diberikan seluas-luasnya, tetapi penerapan ujian nasional
(UN) malah mengebiri otonomi tersebut agar mati suri. Karena itu, tak
dapat dibayangkan apa jadinya jika Undang-Undang BHP dijalankan,
tetapi masyarakat tetap tak diberdayakan dan pelanggaran tetap tak
bisa dikenakan kepada pemerintah sebagai pembuat undang-undang.
***

sumber :
http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTE4Nzc=

UU Badan Hukum Pendidikan Dinilai Legalkan Guru Kontrak

UU Badan Hukum Pendidikan Dinilai Legalkan Guru Kontrak
Sistem kontrak membuat posisi tawar guru semakin lemah.

JAKARTA -- Ketua Forum Guru Independen Indonesia Suparman menilai
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tidak berpihak kepada guru,
terutama guru nonpegawai negeri sipil. "Ada celah yang diberikan
kepada Badan Hukum Pendidikan untuk mengangkat guru kontrak," kata dia
kepada Tempo kemarin.
Dalam Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan disebutkan,
pendidik dan tenaga kependidikan membuat perjanjian kerja dengan
pemimpin organ pengelola badan hukum pendidikan pemerintah, badan
hukum pendidikan pemerintah daerah, dan badan hukum pendidikan
masyarakat.
Dalam ayat 5 juga dijelaskan, pengangkatan atau pemberhentian jabatan
serta hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan dalam status
ditetapkan dengan perjanjian kerja berdasarkan anggaran dasar dan/atau
anggaran rumah tangga serta peraturan perundang-undangan.
Pasal-pasal itu, kata Suparman, membuka peluang kepada badan hukum
pendidikan untuk membuat perjanjian kerja berkala dengan pendidik
(kontrak), yang membuat guru nonpegawai negeri sipil akan semakin
sulit memperoleh status pendidik tetap.
Sistem kontrak ini, kata Suparman, akan membuat posisi guru semakin
lemah dan daya tawarnya berkurang. "Guru jadi rentan terkena pemutusan
hubungan kerja," kata dia.
Dari 920.702 orang tenaga honorer yang terdaftar di Badan Kepegawaian
Nasional (digaji dengan anggaran pendapatan dan belanja
negara/anggaran pendapatan dan belanja daerah), ia menjelaskan ada
351.505 orang (38 persen) yang merupakan tenaga honorer. Semua tenaga
honorer itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005,
akan diangkat menjadi pegawai negeri sipil hingga 2009.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistyo menyatakan, dari 1,2
juta guru swasta di Indonesia, sekitar 600 ribu tergabung di PGRI.
"Dari mereka yang tergabung sekitar 110 ribu adalah tenaga honorer,"
kata dia. Hingga saat ini PGRI belum memiliki data yang pasti tentang
jumlah tenaga honorer swasta di Indonesia.


Sebenarnya, ia menjelaskan, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
mengamanatkan adanya perwakilan pendidik di dalam struktur
kepemimpinan badan hukum pendidikan. Namun, Suparman ragu perwakilan
pendidik itu mau dan mampu memperjuangkan nasib rekannya. Guru
nonpegawai negeri sipil, dia menambahkan, kerap bermasalah dalam
hubungan kerja. "Tidak semua yayasan peduli nasib pendidiknya," kata
dia.
Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat Achmad Fathoni
Rodli menyatakan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan harus dilengkapi
peraturan pendukung, seperti peraturan pemerintah atau peraturan
menteri. Alasannya, kata dia, banyak pasal dalam undang-undang itu
yang belum menjelaskan implementasi peraturan setelah disahkan.
Salah satunya, payung hukum yang mengatur pertentangan atau konflik
antara guru dan yayasan. "Seharusnya disediakan peraturan perundangan
atau mahkamah pendidikan," kata dia. Saat ini setiap pertentangan
diselesaikan melalui pengadilan hubungan industrial.
Soal ini, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Fasli Jalal menyatakan guru berstatus pegawai negeri sipil
maupun yang tidak telah dilindungi oleh Undang-Undang Guru dan Dosen.
"Tidak ada perbedaan," kata dia. REH ATEMALEM SUSANTI

sumber :
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/22/Nasional/krn.20081222..151693.id.html

UU Minerba dan BHP

DPR—yang katanya wakil rakyat—menunjukkan 'wajah asli'-nya:
mengkhianati rakyat! Di akhir tahun ini, DPR 'menghadiahi' rakyat
dengan dua 'kado pahit'. Pertama: UU Minerba (Undang-undang Mineral
dan Batubara) yang disahkan pada 16 Desember 2008 (Detikfinance.com,
16/12/08). Kedua, UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) yang
disahkan pada 17 Desember 2008 (Pikiran Rakyat, 17/12/08). Artinya,
pengesahan kedua UU ini hanya berselang sehari.

Pengesahan kedua UU ini menjadi bukti pengkhianatan DPR—juga
Pemerintah—terhadap rakyat yang diwakilinya untuk kesekian kalinya.
Sebab, kedua UU ini lagi-lagi berpotensi mencampakkan kepentingan
rakyat.

UU Minerba—yang akan menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang
Pokok-pokok Pertambangan—semakin menyempurnakan lepasnya peran
Pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam
milik rakyat dan menyerahkannya kepada para pemilik modal
(swasta/asing). UU ini sekadar melengkapi UU sejenis yang sudah
disahkan sebelumnya, yaitu: UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal.
Semua UU ini pada hakikatnya bertujuan satu: memberikan peluang
seluas-luasnya kepada pihak swasta, terutama pihak asing—karena
asinglah yang selama ini memiliki modal paling kuat—untuk mengeruk
kekayaan alam negeri ini sebebas-bebasnya. Padahal sebelum disahkannya
UU Minerba ini saja, hingga saat ini kekayaan tambang dalam negeri, 90
persennya sudah dikuasai asing. (Sinarharapan.co.id, 13/6/08).

Adapun UU BHP semakin menyempurnakan lepasnya tanggung jawab
Pemerintah dalam pengurusan pendidikan warga negaranya. UU ini
melengkapi UU Sisdiknas yang juga sudah disahkan sebelumnya. Kedua UU
ini pada hakikatnya juga satu tujuan: melepaskan tanggung jawab
Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam
penyelenggaraan pendidikan warga negaranya, sekaligus membebankan
sebagian atau keseluruhannya kepada masyarakat. Padahal pendidikan
jelas merupakan hak rakyat yang wajib dipenuhi Pemerintah secara
cuma-cuma.
Liberalisasi di Balik UU Minerba dan UU BHP

1. UU Minerba.

Mengapa Indonesia memerlukan UU Minerba? "Demi menjamin kepastian
hukum bagi kalangan investor." Lagi-lagi begitulah alasan 'logis'
Pemerintah. Alasan yang sama juga pernah dilontarkan Pemerintah saat
UU Migas, UU SDA maupun UU Penanaman Modal disahkan. Hanya demi
kepastian hukum bagi kalangan pengusaha, Pemerintah tega mengabaikan
kepentingan rakyat. Dalam UU Minerba, misalnya, jelas-jelas sejumlah
kontrak di bidang pertambangan yang selama ini amat merugikan
rakyat—yang telah berjalan lebih dari 40 tahun sejak Orde
Baru—tidak
akan diotak-atik. Padahal sebagian besar dari kontrak-kontrak itu baru
akan berakhir tahun 2021 dan 2041. Memang, dengan berpegang pada pasal
169b UU Minerba ini, Pemerintah bisa mendesak dilakukannya penyesuaian
pada kontrak-kontrak yang ada sekarang ini. Namun, UU Minerba ini
tetap mengakomodasi pasal 169a yang melindungi keberadaan
kontrak-kontrak lama itu. Itulah yang menjadi alasan mengapa
Pemerintah tidak akan
'semena-mena' mencabut kontrak pertambangan yang sudah ada. "Tujuh
fraksi di DPR kan juga sudah mengatakan kontrak yang sudah ada perlu
dipertahankan siapapun menteri dan presidennya. Itu adalah kontrak
negara dengan mereka. Jadi itu yang harus dihormati," ujar Menteri
ESDM Purnomo Yusgiantoro (Kontan.co.id, 18/12/08).

Di sisi lain, hingga 2006 saja, Pemerintah telah menerbitkan
sedikitnya 2.559 ijin pertambangan dan batubara. Itu belum termasuk
ijin tambang galian C, ijin tambang migas dan Kuasa Pertambangan yang
dikeluarkan pemerintah daerah pada masa otonomi daerah. Di Kalimantan
Selatan saja, lebih dari 400 ijin tambang dikeluarkan. Di Kalimantan
Timur ada 509 ijin. Di Sulawesi Tenggara ada 127 ijin tambang. Di
kabupaten baru, Morowali, Sulawesi Tengah, bahkan sudah dikeluarkan
190 perijinan. Jumlah ini akan terus bertambah dan luas lahan untuk
dikeruk akan makin meluas. Tidak ada batasan kapan dan berapa jumlah
ijin yang patut dikeluarkan tiap daerah (Jatam.org, 28/11/08). Yang
pasti, ribuan ijin tersebut, selama belum berakhir, tidak akan pernah
bisa diotak-atik berdasarkan UU Minerba yang baru itu.

2. UU BHP.

Terkait UU BHP, banyak kalangan menilai bahwa UU ini lebih untuk
melegalisasi 'aksi lepas tanggung jawab' Pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan. Memang, anggapan ini dibantah oleh Ketua
Komisi X DPR Irwan Prayitno. Ia menyatakan, UU BHP ini justru bisa
memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut
biaya pendidikan yang tinggi. Selain itu, Fasli Jalal, Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menambahkan, "Di UU BHP ini
justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga
biaya operasional," ujar Fasli. Selain itu, menurutnya, BHP wajib
menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang
mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru
(Dikti.org, 18/12/08).

Namun, yang perlu dipertanyakan: Pertama, bukankah UU BHP ini masih
mewajibkan masyarakat untuk membayar pendidikan? Padahal Pemerintah
seharusnya memberikan pendidikan cuma-cuma alias gratis kepada
rakyatnya—karena memang itu hak mereka—dari tingkat dasar hingga
perguruan tinggi. Kedua, jatah 20 persen kursi untuk siswa/mahasiswa
miskin tentu tidak memadai dan tidak adil. Sebab, di negeri ini rakyat
miskin yang tidak bisa sekolah, apalagi sampai ke perguruan tinggi,
jumlahnya puluhan juta. Menurut data Susenas 2004 saja, dari penduduk
usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang
tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai
41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Lalu menurut data Balitbang
Depdiknas 2004, yang putus sekolah di tingkat SD/MI tercatat sebanyak
685.967 anak; yang putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054
orang. Dengan terjadinya krisis ekonomi yang parah saat ini, pasti
anak-anak putus
sekolah semakin berlipat jumlahnya. Artinya, UU BHP ini tetap tidak
menjamin seluruh rakyat bisa menikmati pendidikan.
Tolak Liberalisasi, Terapkan Syariah!

Dari sekilas paparan di atas, jelas bahwa liberalisasi atas negeri ini
semakin hari semakin dalam dan semakin merambah semua bidang
kehidupan. Celakanya, semua itu dilegalkan oleh Pemerintah dan
DPR—yang diklaim sebagai pemangku amanah rakyat—melalui sejumlah
UU.
Di bidang minyak dan gas ada UU Migas. Di bidang pertambangan dan
mineral ada UU Minerba. Di bidang sumberdaya air ada UU SDA. Di bidang
usaha/bisnis ada UU Penanaman Modal. Di bidang pendidikan ada UU
Sisdiknas dan UU BHP. Di bidang politik tentu saja ada UU Pemilu dan
UU Otonomi Daerah. Di bidang sosial ada UU KDRT dan UU Pornografi.
Demikian seterusnya.

Sementara itu, puluhan UU lain masih berupa rancangan. Yang masuk
dalam Prolegnas selama 2006-2009 saja ada sekitar 173 RUU yang siap
diundangkan (Legalitas.org, di-download pada 23/12/08). Melihat
'track-racord' DPR yang jelas-jelas buruk dalam
melegislasi/mengesahkan sejumlah UU, sebagaimana dicontohkan di atas,
kita tentu semakin khawatir bahwa sejumlah RUU yang sudah masuk dalam
Prolegnas itu pun akan tetap mengadopsi nilai-nilai 'liberal'.
Ujung-ujungnya, rakyatlah yang rugi, dan yang untung hanya segelintir
kalangan, termasuk asing. Pasalnya, tidak dipungkiri, 'aroma
uang'—atau paling tidak, 'aroma kepentingan' elit partai—hampir
selalu
mewarnai setiap pembahasan RUU di DPR. Beberapa produk UU seperti UU
Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, misalnya, diduga kuat didanai oleh
sejumlah lembaga asing seperti World Bank, ADB dan USAID.

Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas
pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara tentu harus
mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam
seperti tambang minyak, mineral, batubara, dll dikelola oleh negara
secara amanah dan profesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan
untuk memenuhi kepentingan rakyat.

Karena itu, sudah saatnya umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri
ini menolak segala bentuk liberalisasi yang dipaksakan atas negeri
ini. Liberalisasi adalah buah dari demokrasi. Demokrasi akarnya adalah
sekularisme. Inti sekularisme adalah penolakan terhadap segala bentuk
campur-tangan Allah SWT dalam mengatur urusan kehidupan manusia.
Wujudnya adalah penolakan terhadap penerapan syariah Islam oleh negara
dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Padahal Allah SWT telah
berfirman:

Apakah sistem hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang
lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?
(QS al-Maidah [5]: 50).

Kenyataan yang ada membenarkan firman Allah SWT di atas. Akibat hukum
Allah SWT ditolak dan malah hukum manusia yang diterapkan, negeri ini
tidak pernah bisa mengatur dirinya sendiri. UU dan peraturan dibuat
bukan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan rakyat banyak, tetapi
sekadar untuk memuaskan hawa nafsu dan memuluskan jalan pihak asing
untuk menjajah negeri ini. Akibatnya, krisis multidimensi tetap
melilit bangsa ini. Mahabenar Allah Yang berfirman:

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya
penghidupan yang sempit, dan di akhirat kelak ia akan dibangkitkan
dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).

Pertanyaannya: Mengapa kita masih terus saja menerapkan sistem hukum
produk manusia yang terbukti banyak menimbulkan kemadaratan? Mengapa
kita masih percaya pada sistem demokrasi yang menjadi 'pintu masuk'
liberalisasi yang terbukti mengancam kepentingan rakyat? Mengapa kita
masih meyakini sekularisme sebagai dasar untuk mengatur negara dan
bangsa ini? Mengapa kita masih percaya kepada elit penguasa dan wakil
rakyat yang nyata-nyata hanya mementingkan diri sendiri,
kelompok/partainya, bahkan pihak asing atas nama demokrasi?

Setiap Muslim tentu menyadari, bahwa hanya syariah Islamlah yang pasti
akan menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan manusia, khususnya di
negeri ini. Setiap Muslim juga tentu meyakini, bahwa hanya hukum-hukum
Allahlah yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Karena itu, sudah saatnya umat Islam tidak hanya setuju terhadap
penerapan syariah Islam, tetapi juga bersama-sama bergerak dan
berjuang untuk segera mewujudkannya. Ingatlah, penerapan syariah Islam
adalah wujud keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Ingat pula,
keimanan dan ketakwaan adalah sebab bagi turunnya keberkahan dari-Nya.

"Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan
membukakan bagi mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi" (QS
al-A'raf [7]: 96).[]
***

sumber :
mailis sabili@yahoogrpoups.com

"PERUSAHAAN" REPUBLIK INDONESIA MEMBUKA LOWONGAN KERJA

Boleh saja terjadi PHK di sana-sini di berbagai
perusahaan swasta, dan boleh saja Dunia mengalami krisis global, tetapi
nyatanya:


Indonesia membuka Lowongan Kerja PNS setiap tahun dan saat ini membuka Lowongan Kerja sebagai Legislatif & Eksekutif.


Semua berlomba mengajukan diri kepada Rakyat, untuk diperkerjakan sebagai Wakil Rakyat di Legislatif dan Presiden/Wapres sebagai Eksekutif.


Apa kriteria, persyaratan dan job-desc (tugas yang harus dilakukan saat terpilih)?


Apakah Rakyat sebagai "PEMEGANG SAHAM" sebuah Negara telah memutuskan siapa yang akan dipercaya untuk duduk sebagai KOMISARIS (Wakil Rakyat = DPR) dan Board Of Directors (Eksekutif)?


Anda dan saya sebagai Rakyat dan Pemegang Saham Negara ini, apakah telah membuat kriteria, persyaratan dan tugas-tugas yang harus dijalankan oleh Komisaris dan BOD?


Sebaiknya kita semua harus segera membuat JOB-DESC mereka, dan bila mereka gagal melakukan tugas tsb., kita ber-hak memecat mereka, bahkan memecat Komisaris sekalipun (dan tidak perlu menunggu lima tahun berikutnya)? Mungkinkah?


Beberapa JOB-DESC Komisaris (DPR) dan BOD (Presiden)
sbb.:


1. Memajukan Pertamina sebagai Perusahaan Kelas Dunia,
seperti Petronas dan Shell. Bukan hanya sebagai perusahaan yang terbelakang, bahkan tidak mampu merefinery BBM untuk kebutuhan dalam negri sekalipun.

2. Membuka Pompa Bensin Pertamina, di Malaysia dan Singapore

3. Mengirim (meng-ekspor) Tenaga Ahli (Expatriate) ke
berbagai belahan dunia (bukan hanya tenaga kuli kasar dan pembantu saja) Indonesia bukanlah Negara pengekspor kuli.

4. Membangun dan mendidik Semua Anak Indonesia, dengan Program
Sekolah Gratis hingga SMA. Indonesia menjadi bangsa seperti ini dan tertinggal dari Malaysia dan Singapore, karena kualitas SDM-nya yang morat-marit.

5. Membangun dan memberikan pelayanan kesehatan
Gratis, di Rumah Sakit Intansi Pemerintah, berlaku bagi Rakyat Miskin Ada surat keterangan miskin, dari RT. RW, dan Lembaga Independent Serifitkasi Kemiskinan).

6. Memberikan dan membangun tempat tinggal yang layak
bagi rakyat yang berkemampuan terbatas. Jangan ada lagi rumah di kolong
jembatan dan tanah2 kosong yang dibiarkan, menjamur dan akhirnya harus diusir dan digusur, dengan kekerasan. Pencegahan lebih baik.

7. Memberikan dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa pandang bulu atau doku. Seperti kasus korban Lumpur Lapindo yang terkatung2, BLBI dan Korupsi kelas kakap yang maju mundur di tempat.

8. Pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia, khususnya di daerah Timur.

9. Kembalikan Pasal 33 UUD 45, seperti semula, bahwa
seluruh harta kekayaan bangsa di kuasai oleh Negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan Rakyat.

10.



11.



12.



13.



14.



15.

Mungkin Anda ingin menambahkan JOB-DESC mereka ini,
sebelum kita sebagai Pemegang Saham memilih dan memperkejakan
mereka di Perusahaan yang bernama "Republik Indonesia" tercinta ini.

Sebar luaskan dan Lowongan Pekerjaan ini, siapa tahu
ada Saudara2 Anda yang terkena PHK dapat melamar di perusahaan
"RI"?

Ayo kita awasi dan pilih Komisaris & BOD yang mampu membawa perusahaan RI ini menjadi "perusahaan" kaliber dunia dan mengalahkan pesaing2 kita, seperti Malaysia & Singapore ?

Siapa Berani menjawab tantangan ini?

Indonesia lebih maju dari Malaysia dan Singapore, dari
sudut Pendidikan (kualitas SDM), Kebersihan (Pemberantasn
Korupsi), Pendapatan (Gaji rata2), BUMN yang bersih, untung dan
memberi Dividen, dan sudut2 lainnya dalam sudut ekonomi, dalam 5 tahun
ke depan????

DI CARI Komisaris dan BOD "Perusahaan" Republik Indonesia.

Senin, 08 Desember 2008

Hari Raya Idul Adha 1429 H

Di hari besar ini kami mengucapkan Selamat Idul Adha 1429 H. Semoga di hari ini qt mendapatkan arti ruh pengorbanan sejati. Mari abdikan diri qt utk diri, agama, ummat, bangsa, dan negara.

Rabu, 19 November 2008

Memahami Bekam

Oleh ; Ketut Junaedi

Dikenal sejak zaman Nabi Musa
Di Indonesia dikenal dgn nama : Canduk, Canthuk, Kop,(yang
berasal dari bahasa Inggris (Cupping), Mambakan
Masa kejayaan Ummat Islam di bidang Pengobatan / Kedokteran pada
abad 8-12 Masehi dikenal beberapa dokter Muslim : Ali Abbas Al Majusi,
Abu Bakar Ar Rozi, Al biruni, Ibnu Sina, Az Zahrowi, Ibnu Maimun, Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah

Bekam terjemahan dari Al Hijamah dari kata Al Hajmu (torehan
darah)~> Pekerjaan membekam dan Al Hijmu ~> Menghisap / Menyedot
Al Hijamah berarti Proses pengeluaran darah kotor dengan
melukakan pada permukaan kulit


Ahli Bekam dari Non Muslim

- DR. Michael Reed Gach, California, buku Potent Point, a Guide to
Self
Care for Common Ailments (Titik berkhasiat sebagai panduan perawatan
diri dan pengobatan penyakit yang umum)

- Kohler D, 1990, buku The Connective Tissue as The Physical Method
(Jaringan ikat sebagai media fisik untuk menghantarkan energi
pengobatan
dengan bekam)

- Thomas W Anderson, 1985, 100 Diseases Treated by Cupping Method (
100 penyakit yang dapat disembuhkan dengan bekam

Hadist Nabi riwayat Thabrani,

"Hendaklah Kalian berhijamah pada tengkuk, karena dapat menyembuhkan 72
penyakit"

Hadist nabi riwayat Ibnu 'Abbas:

"Sebaik-baik hamba adalah tukang bekam, mengeluarkan darah dan
meringankan tulang rusuk serta memperjelas pandangan."

Landasan Berbekam / Al Hijamah

* Pengobatan yang disunnahkan rasulullah "Madu, Al Hijamah dan
Pemanasan Api" HR. Ibnu Abbas RA

* Madu menjadi landasan pengobatan herba

* Al Hijamah menjadi landasan operasi

* Pemanasan Api menjadi landasan laser



* "Berobat itu dengan berbekam" HR Ibnu Abbas RA

* "Sesungguhnya Rasulullah SAW pada waktu Beliau dimi'rajkan oleh
Allah SWT ke Sdratul Munthaha ,"Tidak melewati seorang malaikatpun
kecuali mengatakan : Ya Muhammad anjurkan kepada ummatmu untuk
berhijamah."

"Dia membuang darah yang kotor, meringankan tubuh serta
menajamkan penglihatan" HR At Tirmidzi

Allah mewajibkan puasa Ramadhan untuk membersihkan ruhani dan
Rasulullah mensunnahkan Al Hijamah untuk membersihkan jasadi

Definisi Al Hijamah

Kulit berfungsi mengeluarkan toksin -->Ginjal ketiga
Terapi pengeluaran racun / toksin dalam tubuh melalui permukaan
kulit. Kulit merupakan organ tubuh terbesar dalam tubuh sehingga dalam
kulit inilah banyak toksin berkumpul.

* Fungsi terganggu --> asam urat --> Kering, bisul, jerawat,
psoriasis, dsb.

Al Hijamah merupakan detoksifikasi yang tidak menimbulkan efek
samping.
Darah mengalami oksidasi tanpa udara
Plasma terpisah sendiri dari darah

Hanya plasma dan sel darah rusak yang keluar dari tempat hijamah

Jika kita meletakkan dua gelas untuk menghisap darah, maka
mungkn
saja darah akan keluar ke dalam gelas pertama, tapi tidak ke gelas
kedua, padahal keduanya saling berdekatan.

Kesembuhan dapat terjadi meskipun darah tidak keluar ke gelas.

Perbandingan Laborat antara Darah Pembuluh dengan Darah Hijamah

Darah Pembuluh

1. Seluruh kadar sel darah putih
2. Semua jenis sel darah merah
3. Sesuai dengan yang ada dalam peredaran darah

Darah Hijamah

1. Hanya 1/10 kadar sel darah putih
2. Hanya semua sel darah merah yang memiliki bentuk ganjl.
3. Volume pengikat zat besi sangat tinggi (550-1100).

Bekam Basah/ DAMAIYAH (Wet Cupping) atau Bekam Darah.

Permukaan kulit dibuka kemudian disedot untuk menarik darah yang
tercampur toksin.Inilah yang disebut Al-Hijamah

Setiap sedotan dibiarkan selama 3-5 menit dan max 9menit,
kemudian dibuang kotorannya. Banyak sedotan tidak lebih dari 7 kali.

Jarak masa bekam tempat yang sama 3-5 mgg.
Bekas luka hilang dalam 2-3 hari jika diurut dengan mnyak
but-but.
Tempat luka jangan kena air selam 3-5 jam setelah bekam

2. Bekam Kering/JAFFAH Dry Cupping) atau Bekam Angin

Penyedotan kulit dengan alat bekam tanpa melukai kulit, utamanya
untuk menarik angin dari bawah kulit
Digunakan untuk pasien yang tidak tahan terhadap rasa sakit dan
tidak tahan terhadap darah atau memiliki kondisi-kondisi tertentu
sehingga tidak mungkin dilakukan bekam basah.

Tidak ada hadist shahih yang disebutkan dari Nabi SAW bahwa
beliau melakukan hijamah dengan cara jaffah.

Memar selama 1 atau 2 minggu.
Bekam ini sedotannya hanya sekali
Biarkan 15-20 menit
Pemberian minyak but-but mempercepat menghilangnya kesan memar.

Releasing -Teknik Bebaskan Diri dari Kemarahan

By: Krishnamurti

"Bagaimana mungkin Anda bisa terbang tinggi, jika Anda masih membawa
ransel yang berat di pundak Anda?" demikian jawaban saya jika ada
peserta training yang bertanya bagaimana cara mencapai sukses dengan
cepat.

Salah satu ransel yang berat ini adalah kemarahan dan teman-temannya
seperti kekesalan, kekecewaan, kesedihan dsb. Marah itu memang
menyakitkan. Marah itu bahaya. Marah itu tidak nyaman. Marah itu
energi negatif. Marah itu disimpan jadi berat, namun jika dibuang
sering seperti bumerang yang kembali lagi ke si pengirim. Uh, sebeeel
dan sereeem…

Bagaimana melepaskan ransel yang berat tersebut?

Teknik ini saya dapatkan dari seorang sahabat yang berasal dari Jerman
saat kami training bersama di sesi NLP Malaysia tahun lalu. Beliau
sudah menekuni teknik ini belasan tahun. Teknik Releasing berikut ini
memang sudah saya sesuaikan dengan budaya Indonesia dan dikombinasikan
dengan teknik NLP lainnya agar menjadi sangat sederhana (sebagaimana
hobi saya yang ingin membuat segala sesuatu menjadi sederhana
he..he..) dan setiap orang bisa melakukannya sendiri.

Urutan proses kegiatannya adalah sbb:

1. Ambil sikap yang nyaman, bisa posisi duduk atau tiduran. Masuk
kedalam diri dalam suasana hening (Deep Trance State) sampai Anda
nyaman. Salah satu teknik sederhana favorit saya adalah menghitung
mundur dari 3, 2 dan 1 sambil bernafas sangat perlahan di setiap
hitungannya.

2. Anda hening beberapa saat. Setelah itu, lakukan kalimat sugesti
diri (self suggestion) berikut ini dengan teknik:

Tanda * = artinya dengan lembut dan perlahan tariklah nafas yang dalam
dan saat hembuskan nafas dalam tempo lambat katakan kalimat
disebelahnya.

* Aku lepaskan… (hening sejenak)

* Aku bebaskan… (hening sejenak)

(Jika muncul gambaran memory, boleh gunakan teknik gambarannya dibuat
menjauh sampai hilang. Jika muncul suara, boleh gunakan teknik
suaranya dibuat terdengar makin perlahan sampai hilang.)

* Segala rasa marah.. (hening sejenak)

* Segala rasa sedih… (hening sejenak)

* Segala rasa kecewa.. (hening sejenak)

(boleh ditambahkan kata lainnya bila menurut Anda mengganggu emosi
Anda, lebih spesifik lebih baik)

* Yang bersemayam dalam diriku… (hening sejenak)

* Ke alam semesta dengan ikhlas… (hening sejenak)

* Sekaraaang…

3. Rasakan perasaan Anda saat ini, jika masih ada rasa, suara atau
gambaran kemarahan dan kawan-kawannya yang muncul, silahkan lakukan
kembali langkah 2 dalam kondisi Deep Trance.

Setelah Anda kuasai dan mahir dengan teknik ini, Anda dapat
mempraktekannya kapanpun dan dimanapun dengan melakukan langkah 1
tanpa harus pejamkan mata. Karena Deep Trance State bisa Anda ciptakan
kapanpun Anda perlu.

Setelah ransel berat tersebut lepas, maka Andapun siap untuk terbang
tinggi, setinggi dan sejauh yang Anda inginkan.

sumber :
mailis Money_Magnet@yahoogroups.com

Obama Bukan Presiden Indonesia !

Iwan Kamah - Jakarta

Beberapa jam setelah Senator Obama menang dalam pemilu, Presiden
Bambang Yudhoyono memberi ucapan selamat sambil sedikit bernada
"memohon", dengan mengingatkan masa kecil Obama di Indonesia. Siapa
tahu Obama agak berbaik dan punya kebijakan khusus untuk Indonesia .
Memang Presiden SBY punya kesempatan bertemu Presiden Barack Obama
hingga 20 Oktober 2009. Bisa menjadi tamu atau menjamu saat Obama
'welcome home" ke Indonesia .

Nada SBY itu menjadi cerminan publik Indonesia yang begitu antusias
merayakan kemenangan Obama, sehingga terkesan berlebihan. Bahkan,
kawan saya bilang, "orang Indonesia seperti orang Amerika yang tak
punya hak pilih".Hanya karena Obama pernah tinggal di Jakarta dan
berayah tiri pria Jawa, kita merasa Obama milik Indonesia . Yang kita
harus ketahui, Obama dipilih oleh rakyat Amerika. Dia harus membayar
harga itu mati-matian dengan menjalankan kebijakan yang menguntungkan
Amerika. Tidak peduli dengan negara lain. Apakah itu Kenya atau
Indonesia , ya kalau tak menguntungkan Amerika, buat apa dibela atau
diurusin.



"Hitler's birthplace syndrome"

Wajar kalau orang Indonesia semarak dengan kemenangan Obama. Belum
pernah dalam sejarah kita ada presiden negara asing yang punya kaitan
emosional dengan Indonesia seperti kasus Obama. Apalagi Obama akan
menjadi presiden dari negeri terkuat di dunia. Di Suriname, sebuah
negeri nan jauh di Amerika Selatan sana , memang banyak politisi dan
menteri berdarah Jawa. Bahkan mereka mencanangkan tahun 2012 akan ada
orang Jawa menjadi presiden Suriname . Ya, mau Amerika atau Suriname ,
tetap aja mereka akan bela dan mementingkan negeri mereka.

Kalau saya analisa, kaitan Obama dengan Indonesia mungkin bisa
dijelaskan dengan teori yang saya sebut "Hitler's birthplace
syndrome". Kalau mau dibilang sebuah penyakit, sindrom ini
memperlihatkan, bahwa memori, latar belakang dan memori seseorang
tidak akan membawa nilai positif terhadap tingkah lakunya.

Lihatlah Hitler. Dia kelahiran kota Wina , Austria . Namun dia
menyerbu negeri kelahirannya, setahun sebelum Perang Dunia Kedua
dimulai. Orang yang terkena gejala ini banyak. Umumnya orang
pemerintahan Amerika. Jenderal Dwight Eisenhower (kemudian menjadi
Presiden AS ke 34), harus menghancurkan Jerman dan akhirnya
mengalahkan Hitler. Padahal kedua orang tuanya berdarah Jerman. Henry
Kissinger, penentu kebijakan luar negeri AS selama tiga dasawarsa,
juga kelahiran Jerman. Tapi tak gunanya nostalgia itu bagi Jerman.

Lebih parah lagi, sewaktu Jimmy Carter (yang tak punya pengalaman luar
negeri) menjadi presiden AS ke-39, dia memilih seorang strategis
berotak cemerlang kelahiran kota Warzawa (Polandia). Namanya Zbigniew
Brzezinski, untuk menjadi Ketua Dewan Keamanan Nasional. Dalam
menjalankan kebijakannya, Brzezinksi harus menghancurkan reputasi dan
hegemoni negara-negara Pakta Warzawa (blok komunis), yang kala itu
sedang hangat-hangatnya perang dingin antara AS (kapitalis) dan Uni
Soviet (komunis).

Di Indonesia, memang ada beberapa orang pejabat asing kelahiran
Indonesia atau memiliki kaitan emosional dengan negeri ini. Tetapi hal
itu terbukti tidak bermanfaat.

Paul Wolwofitz, bekas dubes AS di Jakarta, arsitek Perang Teluk dan
mantan Presiden Bank Dunia, memiliki ikatan emosional dengan Jawa.
Istrinya pandai bicara Jawa dan lama mondok di sini waktu ikut program
AFS. Ya itu tadi, nostalgia ya nostalgia. Amerika tetap nomor satu.
Neneknya Lee Kuan Yew, pendiri Singapura berasal dari kota Semarang .
Lalu apa untungnya buat Indonesia ? Gak ada! Tun Abdul Razak, PM
Malaysia adalah keturunan bangsawan Bone, Sulawesi Selatan. Tapi tak
bermanfaat fakta itu untuk kita. Bahkan anaknya, Najib Razak, calon PM
Malaysia, merampas pulau Sipadan dari kita.

Lihat saja, apa untungnya Austria dengan Gubernur California Arnold
Scharwznegger (kelahiran Wina)? Nggak ada! Paling-paling cuma
dibuatkan patung di kota kelahirannya. Hanya sebatas kebanggaan!


Obama dan Ann Dunham

Sebaiknya kita tidak usah berharap dan berlebihan meminta sesuatu
dengan Obama untuk Indonesia . Dia dipilih dan dibiayai oleh rakyat
Amerika, bukan kita. Apalagi diperburuk bahwa Obama seorang dari
partai demokrat. Kita semua tahu, presiden AS dari partai demokrat
sangat kritis dan kurang menyukai Indonesia . Jimmy Carter dari
demokrat adalah presiden AS yang paling tidak suka dengan Indonesia .
Bill Cinton yang juga dari kubu yang sama, membiarkan (atau memang
memaksa) Timor Timur lepas dari Indonesia . Padahal, pendahulunya
(semuanya kaum republik), mendukung, membela dan mempertahankan posisi
membela Indonesia dalam kasus Timor Timur di panggung internasional.

Yang kita bisa tahu dari Obama adalah ibu kandungnya yang cinta negeri
kita. Dia mau menikah dengan pria Jawa dan bersusah payah tinggal di
Jakarta sambil menyelami budaya kita. Padahal di Honolulu lebih enak
dan nyaman. Kalau disuruh pilih siapa yang pantas menjadi presiden
AS, Obama atau Ann Dunham? Saya pilih ibunya.

Obama sendiri tidak pernah secara terbuka atau blak-blakan memuji
(memang tidak ada yang bisa dipuji) atau menyebut Indonesia dengan
nada bangga (memang tidak ada yang bisa dibanggakan) . Dia lebih
senang menyebut "pengalaman kecil saya di Asia Tenggara", daripada
"masa kecil saya di Indonesia ". Obama juga tidak aktif membela
Indonesia di Kongres. Beberapa anggota Kongres AS dibiarkannya, yang
sok ikut campur dan tidak mengerti masalah lokal sini, sampai berani
menggugat integritas Papua dengan Indonesia . Indonesia sudah menjadi
negeri asing bagi dia, seraya mengecam kaum militer Orde Baru yang
represif dalam bukunya.

Obama tinggal dan sekolah di Indonesia , karena terpaksa ikut ibunya,
bukan kemauan sendiri atau cinta dengan Indonesia . Ibunya-lah yang
cinta Indonesia . Sangat naĂŻve meminta Obama punya perhatian khusus
kepada Indonesia .


Obama adalah senator cemerlang dan memiliki visi ke depan. Jadi dia
akan lebih rasional bertindak, sambil mengartikulasi sebuah hubungan
baik antara AS dan RI dengan rinci yang berpijak pada kepentingan
Amerika.

Untuk lucu-lucunya, lebih baik kita membantu dan membiayai partai
politik di Suriname seperti Kerukunan Tulodo Pranata Inggih (Partai
Kesatuan dan Persatuan) atau Pertjaja Luhur (Partai Buruh). Siapa tahu
mereka bisa menjadikan orang Jawa menjadi Presiden Republik Suriname .
Nah, yang seperti ini tentu sedikit beda dengan kasus Obama. Namanya
juga orang Jawa.

sumber :
http://community. kompas.com/ index.php/ read/artikel/ 1535

Perangkap Demokrasi

Penulis: Oleh: Ibrahim Akademisi
Universitas Bangka Belitung

â€Ĺ“...demokrasi merupakan
perangkap bagi masyarakat yang tidak mampu untuk memahami substansi
dari
demokrasi. Tertipu oleh calon wakil rakyat lantaran pendekatannya yang
berlebihan menjelang pencoblosan menawarkan posisi yang berbahaya bagi
sistem
perwakilan.. .” WAKIL rakyat
merupakan terjemahan dari rakyatnya. Jika rakyatnya adalah penggemar
film-film
sinetron, maka mereka juga akan memilih pemimpin dari kalangan
selebritis. Jika
rakyatnya adalah orang-orang culas, maka mereka juga pasti memilih
wakil mereka
dari kalangan orang-orang culas. Wakil rakyat itu mencerminkan siapa
rakyatnya. Inilah gagasan dasar dari demokrasi yang diadopsi dari
demokrasi ala
Yunani yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Pemilu di Indonesia dan
hampir
semua negara yang menganut sistem demokrasi. Kita memang tidak mungkin
mengembalikan demokrasi Yunani dalam hal kelangsungannya sebagaimana
terjadi di
Athena dulu dimana Raja mengumpulkan semua warganya untuk dimintai
pendapat.
Mereka tidak membutuhkan bilik suara karena mereka tidak menganut
sistem
representasi. Tidak ada PPS, tidak ada KPPS, juga tidak ada KPU,
apalagi
milyaran rupiah sebagai ongkosnya. Demokrasi pada masa itu adalah
demokrasi substansi secara langsung dimana rakyat betul-betul ikut
memutuskan
kebijakan sang pemimpin. Untuk tidak mengatakannya purba, lantas untuk
menghemat
biaya, dewasa ini digunakanlah sistem pencoblosan. Dibangunlah TPS-TPS
yang
tersebar setiap 300 warga. Tujuannya efisiensi. Namun efisiensi itu
kemudian
dipertanyakan definisinya ketika ongkos berdemokrasi justru menjadi
sangat
mahal. Memang tidak mungkin untuk mengembalikan kejayaan demokrasi
langsung
sebagaimana digagas dulu di Yunani, namun meluruskan maknanya
barangkali perlu
dilakukan. Demokrasi perwakilan yang merupakan bentuk penyederhanaan
dari
sistem demokrasi langsung senafas dengan misinya, yakni perwakilan.
Wakil rakyat
merupakan terjemahan dari rakyatnya. Jika rakyatnya adalah penggemar
film-film
sinetron, maka mereka juga akan memilih pemimpin dari kalangan
selebritis. Jika
rakyatnya adalah orang-orang pragmatis,maka mereka juga akan memilih
wakil dari
kalangan pragmatis. Jika rakyatnya adalah orang-orang yang taat
beribadah,
mereka juga pasti akan memilih wakil yang suka beribadah, sebaliknya
jika
rakyatnya adalah orang-orang culas, maka mereka juga pasti memilih
wakil mereka
dari kalangan orang-orang culas. Demokrasi menganut sistem equity.
Suatu
situasi dimana warganegara ditempatkan dalam derajat kesesuaian yang
sama dalam
aksesnya terhadap sistem politik. Demokrasi menempatkan kesejajaran
sebagai
produk unggulan. Kesejajaran ini yang menjadi kelemahan sekaligus
kekuatan dari
demokrasi. Demokrasi memberikan jatah satu suara kepada satu nyawa yang
dianggap
dewasa tanpa pertimbangan apapun. Titik. Disinilah kekuatan dan
kelemahan itu bersenyawa dalam zat bernama demokrasi. One man one vote
adalah
kekuatannya, pada saat yang bersamaan jatah ini diberikan tanpa
memperhatikan
latar belakang pemiliknya. Tidak ada perlakuan yang berbeda. Politisi
dapatkan
satu suara, agamawan juga, tokoh masyarakat juga, pelacur satu suara,
preman
pasar satu suara, narapidana satu suara, residivis juga satu suara.
Apakah ini
menjadi sebuah kelemahan atau kekuatan dari demokrasi? Tergantung dari
sudut
pandang mana seseorang melihatnya. Saya pun tak dapat mendefinisikan
ini sebagai
sebuah kekuatan atau kelemahan dari sistem demokrasi. Baiklah, sekarang

mari melongok pada satu tahun menjelang penyaluran sistem representasi
tersebut.
Jika anda berjalan kemanapun, anda akan melihat begitu banyak poster
orang-orang
yang ingin memperkenalkan diri. Sarananya bermacam-macam dengan gaya
yang
bermacam-macam juga. Jika melihat kualitas calon, nyata bahwa mereka
menjadi cerminan gado-gado dari rakyat yang akan diwakilinya. Ada calon
wakil
rakyat yang (maaf) hanya tamatan SMA. Ini juga menjadi cerminan rakyat
kita yang
memang masih banyak tamatan SMA. Ada calon wakil rakyat yang
terindikasi
menggunakan ijasah palsu, ini juga semakin menegaskan bahwa rakyat kita
memang
banyak yang (kepepet) menggunakan ijasah palsu. Namun ada juga calon
yang
ternyata S2, walau sedikit. Lagi-lagi ini juga mencerminkan minimnya
lulusan S2
di negeri ini. Pendek kata, calon wakil rakyat mencerminkan rakyatnya.
UU yang mengatur tentang sistem perwakilan memang juga tidak
neko-neko.
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota DPR,DPRD, dan
DPD
menyederhanakan persoalan perwakilan. Mulai dari syarat pendidikan,
sampai pada
syarat umur. Anda cukup mengantongi ijasah SMA atau sederajat (termasuk
paket
C). Semuanya digampangkan. Yang menggodok UU ini pun nampak sangat
menyadari kelemahan mereka sehingga membuat persayaratan yang sederhana
dan
kontekstual. Tidak dicoba untuk memaksa calon wakil rakyat menyesuaikan
diri
dengan aturan yang lebih tinggi. Dalam sistem Trias Politika
sebagaimana
dianut Indonesia, pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan

yudikatif sangat jelas maksudnya. Legislatif harus mampu menjadi
lembaga kontrol
terhadap sistem dan kinerja eksekutif dan yudikatif. Itulah sebabnya
lembaga
legislatif berhak memanggil dan meminta pertanggungjawaban eksekutif
dalam hal
melaksanakan misinya sebagai lembaga kontrol. Namun saya kok khawatir
fungsi
kontrol ini tidak bekerja secara optimal lantaran standard rekruitmen
anggota
legislatif cenderung lebih disederhanakan di bawah eksekutif.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah,
legislatif mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Didalamnya
melekat kewenangan untuk membahas anggaran, membentuk Perda, dan
memberikan
pertimbangan. Soal kualitas memang tidak bisa disederhanakan hanya
dengan
pendidikan dan ini sangat debateble, namun mampukah fungsi legislatif
ini
bekerja jika kualitas legislatif berada di bawah kualitas eksekutif?
Saya sih
tidak yakin betul. Begini, pembuka sapaan yang panjang di atas
sebetulnya
ingin bermuara pada satu pesan singkat untuk masyakat luas, bahwa
demokrasi
merupakan perangkap bagi masyarakat yang tidak mampu untuk memahami
substansi
dari demokrasi. Tertipu oleh calon wakil rakyat lantaran pendekatannya
yang
berlebihan menjelang pencoblosan menawarkan posisi yang berbahaya bagi
sistem
perwakilan. Harus diakui bahwa banyaknya ketidakberesan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan di negeri bernama Indonesia ini mengarah
pada satu
hal: lemahnya pengawasan. Utusan kita di legislatif nyatanya tak dapat
berperan
banyak menghadapi hegemoni pemerintah. Berarti ada proses rekrutmen
yang salah
dalam sistem pemilihan utusan rakyat tersebut. Begitu banyak regulasi
yang mengatur tata kerja dan optimalisasi fungsi pemerintahan, namun
karena
pengawasan yang lemah, maka terciptalah peluang bagi praktik-praktik
yang
menyimpang. Saatnya seluruh rakyat di negeri ini menata hati dan
pikiran,
membeningkan akal dan jiwa, agar mampu berpikir secara jernih untuk
memutuskan
akan menitipkan suara pada siapa. Salah memilih wakil rakyat berarti
kita ikut
menghancurkan negeri ini dari dalam. Kesalahan memilih wakil membuat
kita harus
menunggu lima tahun lagi untuk meralatnya. Pikirkanlah !

sumber :
Bangka Pos edisi: Jum'at, 14 November 2008 WIB

Mengantisipasi Bencana Tsunami

Bencana Tsunami memang sulit diprediksi kapan terjadinya, tetapi
bersiap mengantisipasinya pun rasanya jadi pekerjaan yang jauh lebih
sulit.

Sistem peringatan dini yang efektif itu menjadi topik pada "Workshop
on The Application of Paleotsunami Science to Tsunami Mitigation in
Indonesia" di LIPI Bandung akhir pekan lalu.

Paleotsunami sendiri merupakan tsunami purba. Dari jejak masa lalu itu
diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang adanya tsunami dimasa
lalu. Toh, kejadian alam tampaknya adalah sebuah pengulangan dan
berpotensi kembali terjadi dikemudian hari.

Tinggal berapa besar kekuatannya saat menghantam daratan, inilah yang
sering mengundang penasaran. Namun itu bisa diprediksi dengan simulasi
yang ilmiah.

Dari sanalah langkah mitigasi berbasis. Satu yang pasti, tsunami
dipicu oleh gempa besar dan dapat dijadikan petunjuk bagi warga yang
merasakan. Tsunami Aceh 2004 muncul setelah digedor gempa berkekuatan
8,9 SR, demikian pula tsunami di Pangandaran dan selatan Jateng
terjadi usai gempa 6,8 SR pecah di Samudra Hindia pada 2006 lalu.

"Sekitar 90 persen tsunami dibangkitkan oleh gempa. Tsunami adalah
ikutan gempa," tegas peneliti tsunami, Dr Hamzah Latief.

Beberapa kali tsunami melanda kawasan tertentu, inilah yang dicoba
dicari jawabannya. Namun penelitian atas paleotsunami masih minim.
Catatan sejarah juga tidak berpihak. Nota tentang kejadian tsunami di
Indonesia hanya mencakup rentang waktu yang sangat pendek, dimulai 400
tahun yang lalu.

"Kejadian-kejadian tsunami sendiri biasanya memiliki waktu perulangan
lebih dari 400 tahun," tandas peneliti paleotsunami Pusat Geoteknologi
LIPI, Dr Eko Yulianto.

Eko bersama rekan-rekannya sedang meneliti tsunami di selatan Jawa
atas kejadian tsunami Pangandaran 2006. Berdasarkan penelitiannya, dia
mengungkapkan perkiraan adanya tsunami serupa dikawasan itu pada tahun
1921 melalui berkas endapan yang ditelisik timnya.

"Untuk lebih meyakinkan kami akan teliti pula endapan-endapan di
daerah-daerah lain seperti kawasan pantai Cilacap dan Sukabumi,"
katanya.

Kegunaan Alat

Hasil penelitian itu jelas akan berbicara banyak. Tapi
sejauh mana masyarakat meresponnya, inilah yang menjadi pertanyaan.
Pasalnya para pembicara dalam workshop itu ragu akan keefektivitasan
sistem peringatan dini yang mengutamakan teknologi usai tsunami
mengguncang negeri ini.

Alat-alat tersebut akan berguna apabila gempa berikut
tsunami susulannya memang memberikan kesempatan untuk lari kepada
masyarakat sedikitnya 30 menit, karena episentrumnya kemungkinan jauh
dari daerah terpaan. Dibawah limit itu, tampaknya masih perlu
diformulasikan.

"Ada kesan keberadaan teknologi menjadi penting. Padahal
alat peringatan dini tsunami seperti buoy yang dipasang disejumlah
pantai hendaknya dilengkapi pula dengan karakteristik wilayahnya
terkait jejak tsunami di kawasan itu. Bisa-bisa target dan kegunaan
alat itu menjadi tidak jelas," kata peneliti gempa, Dr Danny Hilman
Natawijaya.

Kebiasaan setempat akhirnya menjadi poin yang kembali
menjadi perhatian. Pengetahuan tradisional seperti smong yang
menyelamatkan banyak warga Simeuleu dari tsunami Aceh merupakan
warisan yang berharga.

Pengetahuan serupa seharusnya mulai mendapat perhatian
masyarakat yang memiliki kawasan rawan tsunami. Rasanya kebiasaan itu
juga tidak sulit untuk untuk dijadikan "buah bibir".

Dua kejadian tsunami tentunya menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang berguna sebagai bahan rujukan, sebagai
persiapan generasi berikutnya agar bersiap diri menghadapi tsunami
berikutnya yang bisa menyisakan bencana.

Tidak dalam jangka pendek manfaatnya, karena periode
tsunami bisa mencapai ratusan tahun. Anggaplah ini sebuah investasi
jangka panjang. Persoalannya, berapa lama kekonsistenan kita mampu
menjaga investasi itu.

"Bukan apa-apa, mengurus banjir yang tiap tahun datang
saja kita repot, apalagi periode panjang seperti ini," kata Danny
Hilman menyentil keseriusan semua pihak dalam merespon kejadian diatas
normal itu. (Setiady Dwie-60)

sumber :
Suara Merdeka, edisi Selasa 11 November 2008

Senin, 17 November 2008

Muslim Imperior

Tulisan ini adalah hasil renungan yang terinspirasi dari artikel karya
Ukhti Mirzah di sini dan di sini. Ă‚ Artikel tersebut berjudul
Fenomena Baru UIN, yang isinya adalah seputar curhat sang penulis terhadap keadaan memprihatinkan dalam proses belajar-mengajar di program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Dalam artikel tersebut, ukhti Mirzah mengomentari bagaimana para mahasiswa seperti dirinya terpaksa menerima kenyataan betapa kuatnya hegemoni kaum sekuler-liberal di kampus yang seharusnya melahirkan para pembela Islam tersebut. Mereka terpaksa diam dan manggut-manggut saja ketika mendengarkan kuliah dari para tokoh liberal seperti Kautsar Azhari Noer, Azyumardi Azra, Suwito, dan semacamnya.

Mereka juga terpaksa menurut ketika para dosen memaksanya untuk
menanggalkan predikat Subhaanahu wa Ta’ala (SWT) di belakang nama Allah dalam setiap makalah, tesis atau disertasi. Ă‚ Hal yang sama berlaku juga untuk predikat shallallaahu ‘alaihi wa sallam (saw.) di belakang nama Rasulullah, bahkan terlarang juga menyebut beliau sebagai Nabi. Alasannya adalah karena yang mengakui predikat-predikat tersebut hanya orang Islam, sedangkan Non-Muslim tidak.

Lebih lanjut, para dosen juga memaksa mahasiswa untuk menanggalkan
kalimat-kalimat semacam Islam sebagai agama yang sempurna dan Islam
sebagai agama yang haq”. Ă‚ Alasannya sama saja, yaitu karena yang
mengakui kesempurnaan dan kebenaran Islam hanya orang Islam saja, lain
tidak. Seolah-olah jika mengatakan suatu hal yang tidak disepakati semua orang, maka hal itu telah mengurangi keilmiahan sebuah karya tulis.

Membaca curahan hati ukhti Mirzah, saya teringat pada sebuah dialog yang diceritakan oleh salah seorang ustadz. Dialog tersebut adalah
antara Prof. Naquib al-Attas dengan seorang profesor lainnya yang
beragama Nasrani.

Saat itu, sang profesor Nasrani memprotes Prof. Naquib al-Attas karena dalam ceramah-ceramahnya selalu mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar, agama yang haq, dan sebagainya. Jawabannya kira-kira begini, Bagi seorang Muslim, saya tidak berhak untuk menyebut agama lain sebagai agama yang benar. Saya juga tidak menuntut orang lain
untuk mengakui agama saya sebagai agama yang paling benar. Kalau Anda
cukup yakin dengan agama Anda, Anda pun tak perlu menuntut pengakuan orang lain terhadap agama Anda.

Terlihat jelas bahwa jalan pikiran Prof. Naquib al-Attas jauh bersimpang dengan pemikiran para pengelola kampus UIN Syarif Hidayatullah. Yang satu percaya diri dengan keputusannya memeluk agama Islam, yang satunya lagi ketahuan jelas inferiornya.

Jika para dosen UIN bersikeras dengan cara berpikir gaya inferior seperti itu, maka mereka takkan pernah mendapat manfaat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, padahal keduanya adalah sumber hukum dan pemikiran yang
paling utama bagi umat Islam. Keduanya penuh dengan klaim sepihak yang hanya diakui oleh umat Islam, dan memang tak ada tuntutan bagi kaum Non-Muslim untuk ikut mengakuinya.

Bahkan secara khusus Allah SWT menurunkan surah Al-Kaafiruun yang mengajari kita untuk mempertegas perbedaan keyakinan kita dengan orang-orang kafir. Enam ayat singkat (yang sayangnya hanya sering diulas ayat terakhirnya saja) itulah yang mendidik jiwa seorang Muslim untuk memiliki kepercayaan diri yang kuat terhadap agamanya, seperti yang telah ditunjukkan oleh Prof. Naquib al-Attas.

Karena cara berpikirnya yang sudah tidak nyambung dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka bisa dipastikan pengajaran yang diberikan oleh para dosen di UIN tersebut tidak akan pernah sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Barangkali sudah sepatutnya mereka bertanya pada diri sendiri : ketika mengucap syahadatain, apakah mereka meminta persetujuan dari Non-Muslim dulu sebelumnya? Ketika bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah, apakah mereka minta ijin dulu kepada mereka yang tidak ber-aqidah Tauhid?

Ketika bersaksi bahwa Muhammad saw. adalah utusan-Nya, apakah mereka minta persetujuan Joseph Schacht, Goldziher, atau para orientalis semacamnya?

Orang-orang sekuler-liberal memang ada di barisan terdepan dalam hal melecehkan (atau setidaknya melucuti pujian terhadap) Allah SWT dan Rasul-Nya. Guntur Romli, sebagai contoh, seringkali hanya menyebut â€Ĺ“Muhammad”, tanpa pernah menyebut Nabi atau Rasulullah, apalagi sampai repot-repot menyebut shallallaahu alaihi wa sallam.

Untuk kebiasaan yang satu ini, mereka tidak hanya membolehkan atau
menganjurkan, namun justru mewajibkannya (contoh kasus di UIN). Ironisnya, mereka pula yang memaksa MUI dan seluruh umat Islam untuk bersikap toleran terhadap aliran-aliran sesat seperti aliran Salamullah (Lia Eden), Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dan Ahmadiyah, dengan alasan : agama adalah soal keyakinan, dan karenanya relatif dan tak bisa dipaksakan.

Jika memang benar agama adalah soal keyakinan, mengapa umat Islam tak boleh mempertahankan keyakinannya dalam makalah-makalah yang dibuatnya?
Mengapa kita tak boleh menyebut â€Ĺ“Nabi Muhammad saw.” hanya karena
orang-orang Non-Muslim tidak mengakui beliau sebagai Nabi dan tidak pula ber-shalawat atas beliau?

Kita perlu melakukan refleksi ulang kepada tujuan awal pendirian UIN
(dulu IAIN). Ust. Adian Husaini telah memaparkan keprihatinannya secara panjang lebar dalam artikel â€Ĺ“Tujuan Didirikannya IAIN” perihal betapa melencengnya arah perjuangan UIN kini dari tujuan pendirian IAIN dahulu. Awalnya, IAIN didirikan untuk memperjuangkan Islam.

Sepuluh-dua puluh tahun ke depan, apa yang bisa diharapkan dari kampus-kampus yang dipenuhi dengan pemikiran inferior? Ă‚ Perjuangan macam apa yang bias mereka hasilkan? Ă‚ Bagaimana mereka akan membela Islam, sementara mempertegas keyakinannya di hadapan umat Non-Muslim pun mereka tak bernyali?

Menilik tujuan awal pendirian IAIN (yaitu untuk membela Islam), maka semua karya tulis ilmiah yang dihasilkannya, baik makalah, skripsi, tesis dan disertasi, seharusnya memang ditujukan untuk membela keyakinan Islam..

Tidak perlu hirau dengan pendapat orang, karena istilah â€Ĺ“membela Islam sudah menjelaskan adanya perbedaan pendapat yang terjadi antara orang-orang Islam dan Non-Muslim, sekaligus menjelaskan sikap kita dalam perbedaan pendapat tersebut. Sungguh aneh jika frase membela Islam kemudian diterjemahkan dalam sikap ragu-ragu, malu-malu, bahkan takut dalam menyatakan pendirian keyakinannya sendiri.

Republik Indonesia yang kita cintai ini tak pernah lahir dari orang-orang yang takut menyatakan pendiriannya. Para pendiri negara secara
sepihak memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia tanpa
bertanya-tanya dulu pada Jepang, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, atau PBB..

Kita yakin kita pantas merdeka, dan karena itu kita memerdekakan diri
kita sendiri. Jika para dosen UIN begitu takut mempertunjukkan keyakinannya pada Islam, mungkin sudah saatnya mereka mempertanyakan keislamannya sendiri.
***
sumber :
http://akmal. multiply. com/journal/ item/698

Surat Barack Obama tentang Islam

There has been a lot made in the recent weeks about the Muslim history
of my family. Some of the things that have been said are true, others
are false, so I am writing this letter to clear up the
misunderstandings on this issue.

Yes, it is true that I have a name that is common amongst Kenyan
Muslims where my father came from and that my middle name is Hussein.
Barack is a name which means "blessing" and Hussein is a masculine
form of the word beauty. Since there is nothing inherently wrong with
the concept of blessings from God and the beauty He creates I fail to
see the problem with these names. Some will say wouldn't it be a
problem to have a president with a name similar to the deposed and
executed former dictator of Iraq ? My answer to this is simply no;
rather it is the strength and beauty of America that the son of an
African man with a "funny sounding" name, born under British Colonial
Rule, can now be a serious candidate for the presidency of the United
States .

My father was a Muslim and although I did not know him well the
religion of my father and his family was always something I had an
interest in. This interest became more intense when my mother married
an Indonesian Muslim man and as a small child I lived in Indonesia and
attended school alongside Muslim pupils. I saw their parents dutifully
observing the daily prayers, the mothers covered in the Muslim hijab,
the atmosphere of the school change during Ramadan, and the
festiveness of the Eid celebrations.

The man my mother was married to was not particularly religious; but
he would attend the mosque on occasion, and had copies of the Quran in
different languages in the home, and books of the sayings and life of
the Prophet Muhammad. From time to time he would quote Islamic phrases
such as "no one truly believes until he wants for his brother what he
wants for himself", "oppression is worse than slaughter", and "all
humans are equal the only difference comes from our deeds".

Growing up in Hawaii with my mother and her grandparents Islam
largely escaped my mind. My mother installed in me the values of
humanism and I did not grow-up in a home were religion was taught.

It was later while I attended college at Columbia University and
Harvard Law that I became reacquainted with Muslims as both schools
had large Muslims student populations. Some of them were my friends
and many came from countries that our nation now has hostile relations
with. The background I had from my early childhood in Indonesia
helped me get to know them and learn from them and to me Muslims are
not to be looked upon as something strange. In my experiences up until
college a Muslim was no less exotic to me than a Mormon, a Jew, or a
Jehovah's Witness.

After college I settled in my adopted hometown of Chicago and lived
on the South Side and worked as a community organizer. Chicago has
one of the largest Muslim populations in America (estimated to be
around 300,000) and Muslims make-up some of the most productive
citizens in the area. I met countless numbers of Muslims in my job as
an organizer and later on in my early political career. I ate in their
homes, played with their kids, and looked at them as friends and peers
and sought their advice.

Therefore, when the tragic terrorist attacks of 9-11 occurred I was
deeply saddened with the rest of America , and I wanted justice for
the victims of this horrific attack, but I did not blame all Muslims
or the religion of Islam. From my experience I knew the good character
of most Muslims and the value that they bring to America . Many, who
did not personally know Muslims, indicted the entire religion for the
bad actions of a few; my experience taught me that this was something
foolish and unwise.

Later I had the chance to visit the homeland of my father and meet
Muslim relatives of my including my grandmother. I found that these
were people who wanted the same things out of life as people right
here in America and worked hard, strive to make a better way for
their children, and prayed to God to grant the success.

This is what I will bring to the office of the Presidency of the
United States . I will deal with Muslims from a position of
familiarity and respect and at this time in the history of our nation
that is something sorely needed.

Barack Obama

San Francisco, California , USA

Sumber:
http://front-line.blogspot.com/2008/11/letter-from-barack-obama-on-his-muslim.html

Rabu, 05 November 2008

Obat Batu Ginjal (2)

2 atau 3 siung bawang merah diiris-iris tipis, dimasukan ke dalam air degan kelapa hijau yang dipetik tanpa dijatuhkan ke atas tanah kemudian ditutup. Setelah 10 menit, air kelapa dikucek dan diminum sampai habis. Ini berhasiat juga utk vitalitas tubuh.

Obat Batu Ginjal (1)

Kuning telor ayam kampung dimasukan ke dalam air degan kelapa hijau yg masih butiran. Kemudian dikucek sampai rata. Diminum sampai habis 2 hari sekali. Maka batu ginjal akan keluar dalam bentuk butiran pasir lewat penis.

Selasa, 04 November 2008

Kunci Syurga

Syurga itu berada di balik pintu, cuman yang jadi masalah adalah kita lupa menaruh kunci pintunya dimana.

Selasa, 28 Oktober 2008

Untuk Kawan Seperjuangan (aktivis '98) - 2

Dan untuk kawan2ku yg tertarik ke dalam lingkaran kekuasaan (gerakan politik), sy jg memberi aspresiasi, semoga kawan2 dapat mewarnai ranah politik yg bermartabat, bersih, dan tdk terlepas dr cita2 angkatan '98. Catatan sy pilihan ini jgn jd blunder.

Untuk Kawan Seperjuangan (aktivis '98) - 1

Kawanku... ranah perjuangan memang sangatlah luas, tak hanya demonstrasi ataupun parlemen jalanan semata.
Saya ucapkan salut buat kawan2 yg masih komit di gerakan sosial, media massa, dan perjuangan kaum marjinal. Semoga kawan2 menjadi pembaharu sejati.

Sumpah Pemuda

Sekarang, adakah lagi perekat berbangsa dan negara selain sumpah pemuda?
ketika primordialisme kelompok dan golongan mulai mengental menjelang 2009?
Adakah harapan baru, ketika tokoh2 gerakan pemuda & mahasiswa '98 mulai masuk lingkaran kekuasaan? Hmm..?

Minggu, 26 Oktober 2008

Persaingan Ketat

Hari ini ahad, 26 Oktober 2008 KPU Ciamis tlah berhasil mengadakan Pilkadal Bupati & Wakil Bupati. Perolehan suara sementara terjadi persaingan ketat antara Jembar (5)& Hebring (3). Hal ini stidaknya trjadi d bberapa TPS di Ciamis Selatan, spt Bulben.

Jumat, 24 Oktober 2008

METERJEMAHKAN DAN MENAFSIRKAN AL QUR’AN SECARA SEMBARANGAN DAN SECARA LOGIKA

Berdasarkan perspektif Al Qur’an,

Oleh : Sukarman.

Perhatian Artikel ini tidak untuk diperdebatkan. Apabila anda berbeda pendapat silahkan anda membuat artikel sendiri, berdasarkan dalil-dalil yang anda yaqini kebenarannya. Niat saya hanya menyampaikan satu ayat dua ayat agar umat Islam yang belum mengetahui, supaya mengetahui beberapa ayat-ayat Al Qur’an yang terkandungan didalam artikel ini, bagi yang sudah mengetahui ya untuk mengingat kembali, setelah mengetahui mudah-mudahan bisa menambah iman dan takwa bagi mereka yang ikhlas dan mau mengamalkannya.

A’udzu billahis sami’il ‘aliimi minasy syaithaanir rajiim. Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudara, dan Adik-adikku yang saya hormati, yang saya cintai dan insya Allah dirahmati, diberi petunjuk dan hidayah dan dimuliakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT).

Kita ini ingin belajar Agama Islam yang baik dan yang benar.
Untuk itu kita harus belajar Bahasa Arab dan Nahusharafnya, kalau itu yang kita jalani sampai tua tidak akan bisa.

Lebih mudah belajar Agama Islam yaitu, dengan memiliki buku-buku Agama Islam.

Buku-buku yang wajib dimiliki antara lain adalah:

1-Al Qur’an dan Terjemahnya yang diakui oleh Departement Agama .
Contoh:

(1)- Buku “Al Qur’an dan Terjemahnya” Cetakan Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’ At Al Mush-haf Asy Syarif” , Medinah Munawarah PO.Box.6262 Kerajaa Saudi Arabia.

(2)-Atau Buku Al Qur’an dan Terjemahnya, dari Departemen Agama

(3)-Atau Buku Terjemah dan Tafsir Al Qur’an dari UII atau HAMKA, Ibnu Katsir dll.

Di Toko Buku “Wali Songo” dijalan Kwitang, Jakarta banyak
Tafsir Al Qur’an yang baik-baik. Anda tinggal pilih yang mana, yang anda sukai dan anda miliki.

Buku-buku Tafsir itu tidak ditafsirkan dengan cara sembarangan dan tidak dengan cara logika.

Kalau ada yang mengetahui dan menganggap Terjemah dan Tafsir-tafsir Al Qur’an itu ditafsirkan dengan sembarangan dan dengan logika.

- Mengapa tidak protes atau complain kepada Para Penafsirnya dan Penerbitnya.

-Mengapa kalau ada yang merasa mengetahui bahwa di dalam Al Qur’an, Surat Apa / Nomor berapa dan ayat Nomor berapa? Yang diterjemahkan maupun ditafsirkan secara sembarangan dan dengan cara logika, kok tidak dilaporkan kepada Penerbit dan Para Penafsirnya?

(4)-Buku-Asbabul Nuzulnya Al Qur’an.

Karena kita bukan Ahlinya Penterjemah dan Pentafsir Al Qur’an, maka untuk meyaqinkan cara kita mengambil hokum mana yang paling baik, maka dengan cara membandingkan dari Terjemah dan Tafsir dari Departement Agama dengan Tafsir Ibnu Katsir dengan Tafsir UII , dengan tafsir Hamka, dsb.

Dari Terjemah, Tafsir, Asbabun Nuzulnya, Al Qur’an itu dan dipadukan dengan Hadits-hadits yang shahih, maka kita dapat mengambil kesimpulan inilah yang kita anggap benar dan bisa dipakai sebagai pedoman dan Pembelajaran Agama Islam.

Kalau tidak bisa dengan cara itu, ya paling tidakt kita harus memiliki Al Qur’an dan terjemahnya dari : Buku “Al Qur’an dan Terjemahnya” Cetakan Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’ At Al Mush-haf Asy Syarif” , Medinah Munawarah PO.Box.6262 Kerajaa Saudi Arabia.
Buku ini dijual-belikan dimana-mana, dipasar loak juga banyak.

Kesimpulannya:
Kita tidak usah :”Menterjemahkan dan Menafsirkan Al Qur’an” sendiri-sendiri. Karena sudah banya Mufasirin (ahli tafsir) dan sudah banyak ahli penterjemah.

Hadits-hadits sebagai petunjuk tehnis dan pelaksanaan ibadah, dan sebagai penjelasan-penjelasan dari ayat-ayat Al Qur’an.

Hadits-Hadits yang bisa / dapat diambil sebagai rujukan hukum agama adalah:

1-Hadits Shahih Imam Bukhari
2-Hadits Shahih Imam Muslim.
3-Hadits Imam Ahmad bin Hambal
4-Hadits Imam Tirmidzi
5-Hadits Abu Dawud.
6-Hadits An Nas’i.
7-Hadits Ibnu Hiban
Masih banyak perawi hadits-hadits yang lain.

HATI-HATI BANYAK HADITS PALSU, HADITS DLA’IF, BERKELIARAN, GENTAYANGAN BEREDAR DI INDONESIA.

Mengapa belajar Agama Islam harus bertele-tele, bersusah payah?

Sebaiknya umat Islam di Indonesia memiliki buku “Al Qur’an dan Terjemahnya” Cetakan Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’ At Al Mush-haf Asy Syarif” , Medinah Munawarah PO.Box.6262 Kerajaa Saudi Arabia.

Demikian yang bisa saya sampaikan, saya hanya sebatas menyampaikan apa yang baru saya ketahui dari Al Qur’an dan Hadits Shahih. Semoga bermanfaat bagi yang membaca, yang menghayati maknanya dan mengamalkannya didalam kehidupan sehari-hari. Semoga bertambah iman dan takwa kita dan semoga kita selamat dari siksa neraka yang amat sangat pedih dan ngeri.. Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Billahi taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sukarman.

Types Of Witr

by : Aqsa JF

What is the best way of offering Witr prayer?.

Praise be to Allaah.

Witr prayer is one of the greatest acts of worship that draw one closer to
Allaah. Some of the scholars – the Hanafis – even thought that it is one of
the obligatory prayers, but the correct view is that it is one of the
confirmed Sunnahs (Sunnah mu'akkadah) which the Muslim should observe
regularly and not neglect.

Imam Ahmad (may Allaah have mercy on him) said: Whoever neglects Witr is a
bad man whose testimony should not be accepted. This indicates that Witr
prayer is something that is confirmed.

We may sum up the manner of offering Witr prayer as follows:

Its timing:

It starts when a person has prayed 'Isha', even if it is joined to Maghrib
at the time of Maghrib, and lasts until dawn begins, because the Prophet
(peace and blessings of Allaah be upon him) said: "Allaah has prescribed for
you a prayer (by which He may increase your reward), which is Witr; Allaah
has enjoined it for you during the time between 'Isha' prayer until dawn
begins." Narrated by al-Tirmidhi, 425; classed as saheeh by al-Albaani in
Saheeh al-Tirmidhi.

Is it better to offer this prayer at the beginning of its time or to delay
it?

The Sunnah indicates that if a person thinks he will be able to get up at
the end of the night, it is better to delay it, because prayer at the end of
the night is better and is witnessed (by the angels). But whoever fears that
he will not get up at the end of the night should pray Witr before he goes
to sleep, because of the hadeeth of Jaabir (may Allaah be pleased with him)
who said: The Messenger of Allaah (peace and blessings of Allaah be upon
him) said: "Whoever fears that he will not get up at the end of the night,
let him pray Witr at the beginning of the night, but whoever thinks that he
will be able to get up at the end of the night, let him pray Witr at the end
of the night, for prayer at the end of the night is witnessed (by the
angels) and that is better." Narrated by Muslim, 755.

Al-Nawawi said: This is the correct view. Other ahaadeeth which speak of
this topic in general terms are to be interpreted in the light of this
sound, specific and clear report, such as the hadeeth, "My close friend
advised me not to sleep without having prayed Witr." This is to be
understood as referring to one who is not sure that he will be able to wake
up (to pray Witr at the end of the night). Sharh Muslim, 3/277.

The number of rak'ahs:

The minimum number of rak'ahs for Witr is one rak'ah, because the Prophet
(peace and blessings of Allaah be upon him) said: "Witr is one rak'ah at the
end of the night." Narrated by Muslim, 752. And he (peace and blessings of
Allaah be upon him) said: "The night prayers are two (rak'ahs) by two, but
if one of you fears that dawn is about to break, let him pray one rak'ah to
make what he has prayed odd-numbered." Narrated by al-Bukhaari, 911;
Muslim, 749. If a person limits himself to praying one rak'ah, then he has
performed the Sunnah. But Witr may also be three or five or seven or nine.

If a person prays three rak'ahs of Witr this may be done in two ways, both
of which are prescribed in sharee'ah:

1 – To pray them one after another, with one tashahhud, because of the
hadeeth of 'Aa'ishah (may Allaah be pleased with her) who said: The Prophet
(peace and blessings of Allaah be upon him) used not to say the tasleem in
the (first) two rakahs of Witr. According to another version: "He used to
pray Witr with three rak'ahs and he did not sit except in the last of them."
Narrated by al-Nasaa'i, 3/234; al-Bayhaqi, 3/31. al-Nawawi said in
al-Majmoo' (4/7): it was narrated by al-Nasaa'i with a hasan isnaad, and by
al-Bayhaqi with a saheeh isnaad.

2 – Saying the tasleem after two rak'ahs, then praying one rak'ah on its
own, because of the report narrated from Ibn 'Umar (may Allaah be pleased
with him), that he used to separate the two rak'ahs from the single rak'ah
with a tasleem, and he said that the Prophet (peace and blessings of Allaah
be upon him) used to do that. Narrated by Ibn Hibbaan (2435); Ibn Hajar said
in al-Fath (2/482): its isnaad is qawiy (strong).

But if he prays Witr with five or seven rak'ahs, then they should be
continuous, and he should only recite one tashahhud in the last of them and
say the tasleem, because of the report narrated by 'Aa'ishah (may Allaah be
pleased with her) who said: The Messenger of Allaah (peace and blessings of
Allaah be upon him) used to pray thirteen rak'ahs at night, praying five
rak'ahs of Witr, in which he would not sit except in the last rak'ah.
Narrated by Muslim, 737.

And it was narrated that Umm Salamah (may Allaah be pleased with her) said:
The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) used to pray Witr
with five or seven (rak'ahs) and he did not separate between them with any
salaam or words. Narrated by Ahmad, 6/290; al-Nasaa'i, 1714. al-Nawawi said:
Its isnaad is jayyid. Al-Fath al-Rabbaani, 2/297. and it was classed as
saheeh by al-Albaani in Saheeh al-Nasaa'i.

If he prays Witr with nine rak'ahs, then they should be continuous and he
should sit to recite the tashahhud in the eighth rak'ah, then stand up and
not say the tasleem, then he should recite the tashahhud in the ninth rak'ah
and then say the tasleem. It was narrated in Muslim (746) from 'Aa'ishah
(may Allaah be pleased with her) that the Prophet (peace and blessings of
Allaah be upon him) used to pray nine rak'ahs in which he did not sit except
in the eighth, when he would remember Allaah, praise Him and call upon Him,
then he would get up and not say the tasleem, and he would stand up and pray
the ninth (rak'ah), then he would sit and remember Allaah and praise Him and
call upon Him, then he would say a tasleem that we could hear.

If he prayed Witr with eleven rak'ahs, he would say the tasleem after each
two rak'ahs, then pray one rak'ah at the end.

The less perfect way of praying Witr and what is to be recited therein:

The less perfect way in Witr is to pray two rak'ahs and say the tasleem,
then to pray one rak'ah and say the tasleem. It is permissible to say one
tasleem, but one should say one tashahhud not two, as stated above.

In the first rak'ah one should recite Sabbih isma rabbika al-'a'la ("Glorify
the name of your Lord, the Most High" – Soorat al-A'la 87). In the second
one should recite Soorat al-Kaafiroon (109), and in the third Soorat
al-Ikhlaas (112).

Al-Nasaa'i (1729) narrated that Ubayy ibn Ka'b said: The Messenger of Allaah
(peace and blessings of Allaah be upon him) used to recite in Witr Sabbih
isma rabbika al-'a'la ("Glorify the name of your Lord, the Most High" –
Soorat al-A'la 87), Qul yaa ayyuha'l-kaafiroon ("Say: O disbeliever…" –
Soorat al-Kaafiroon 109) and Qul Huwa Allaahu ahad ("Say: He is Allaah, the
One" – Soorat al-Ikhlaas 112). Classed as saheeh by al-Albaani in Saheeh
al-Nasaa'i.

All these ways of offering Witr prayer have been mentioned in the Sunnah,
but the best way is not to stick to one particular way; rather one should do
it one way one time and another way another time, so that one will have done
all the Sunnahs.

And Allaah knows best.
Source-Islam Q&A

--
*Surah Isra 17 verse 80 Say: "O my Lord! let my entry be by the Gate of
Truth and Honor and likewise my exit by the Gate of Truth and Honor; and
grant me from Thy Presence an authority to aid (me)."

Ameen
Transliteration :Wa qur rabbi adkhilni mudkhala sidqiw wa akhrijni mukhraja
sidqiw wa-j'al li mil ladunka sulta_nan nasira_(n).

Al-Tirmidhi HadithHadith 2482 Narrated by AbuHurayrah (May Allah be pleased
with him)
Allah's Messenger (peace be upon him) used to say, " O Allah, grant me
benefit in what Thou hast taught me, teach me what will benefit me, and
increase my knowledge. Praise be to Allah in all circumstances. I seek
refuge in Allah from the state of those who go to Hell."
Tirmidhi and Ibn Majah transmitted it, Tirmidhi saying this is a tradition
whose isnad is gharib.

Ameen*