Kamis, 22 Mei 2008

RENUNGAN


1o TAHUN REFORMASI = 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL



10 tahun reformasi,
perubahan apa yang telah kita dapatkan,
ketika arah pergerakan bangsa kita
masih tertatih dengan hantaman seribu bencana dan globalisasi ?

100 tahun kebangkitan nasional,
kebangkitan macam apakah
yang sekiranya terpahat dan terpatri
di setiap relung hidup di bumi pertiwi ?

Samakah 10 tahun reformasi dengan seabad kebangkitan nasional,
ketika kita masih mencari jati diri ?
kemandirian....
apakah hanya sebuah jelmaan angan yang takan terwujud?

Semoga...
10 tahun reformasi
atau seabad kebangkitan nasional
tidak hanya sebuah reproduksi wacana yang tak bermakna
***
Pantai Srandil, 20 Mei 2008






Sabtu, 10 Mei 2008

Artikel Pendidikan

Menggagas Format Pendidikan Alternatif :

Di Tengah Arus Deras Kapitalisasi Pendidikan

Oleh : Ade Sutisna, SPd*)



School is dead (Everett Reimer)


Mukadimah

Pernyataan tersebut adalah sebuah pernyataan yang patut kita renungkan bersama. School is dead atau sekolah sudah mati, tampaknya bukan sebuah kelakar kosong belaka. Telah banyak pernyataan serupa yang ditujukan pada sekolah khususnya atau dunia pendidikan pada umumnya, seperti sekolah itu candu (Roem Topatimaseng, 1999).

Sejatinya kita tidak usah miris atau merinding dengan lontaran-lontaran menggelitik tersebut. Karena memang itulah adanya. Sekolah sebagai sebuah entitas dan pendidikan sebagai entitas lainnya, mau tidak mau, memang layak menerima umpatan-umpatan semacam itu. Bagaimana tidak, dunia pendidikan atau sekolah sebagai sebuah lembaga formal pendidikan dinilai telah gagal menjalankan fungsi atau misi sucinya dalam memanusiakan manusia (humanisasi). Dimana menurut Paulo Freire (1995), memanusiakan manusia (humanisasi) berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi batas yang meninmdas dari luar kehendaknya.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa sistem pendidikan modern dan mapan seperti sekarang ini sudah banyak melahirkan manusia yang tersasing dan tercerabut dari realitas dunia sosialnya (di sekitarnya) atau dalam Bahasa WS Rendra, pendidikan telah mengasingkan manusia dari lingkungannya.

Di lain pihak dunia pendidikan juga telah melahirkan manusia-manusia materialis, mekanis, haus kekuasaan, dan serakah. Sementara sis-sisi spiritualitas, humanitas, dan budi pekerti luhur terabaikan dengan sendirinya.

Hal ini sejalan dengan lontaran pemikiran Roem Topatimaseng bahwa lewat sekolah (pendidikan) masyarakat dibius dengan materialisme dan kapitalisme yang tak kenal malu.

Paradigma Pendidikan : Paradigma Kekuasaan

Sementara di sisi lain, carut-marut dunia pendidikan tersebut semakin diperparah lagi dengan sistem pendidikan yang berparadigma kekuasaan. Dimana bahasa pendidikan adalah bahasa penguasa. Kita lihat, bagaimana dunia pendidikan kita terpuruk selama kekuasaan Orde Baru. Dan dilanjutkan dengan kekuasaan-kekuasaan sesudahnya. Independensi dunia pendidikan berada pada ketiak segelintir golongan yang ingin melanggengkan kekuasaannya. Sentralisasi pendidikan, kurikulum yang sangat idiologis dan sarat dengan nilai-nilai, politisi pegawai negeri sipil (guru), dan kurang seriusnya pemerintah dalam menangani dunia pendidikan, adalah bukti bahwa sampai saat ini pendidikan merupakan sebuah varian yang signifikan dalam politik negara.

Sejak tahun 1997 Human Development Indeks (HDI) kita merosot tajam. Hasil survey yang dilakukan UNDP-PBB tahun 2000, menyatakan Indonesia berada di urutan 109 dari 174 negara di dunia. Sementara itu, Brunei Darussalam menduduki rangking 32, Malaysia 61, Thailand 67, Filipina 77, dan Vietnam 108 (Kompas, 28 Mei 2002). Dan sampai akhir Maret 2002 mutu pendidikan kita berada pada peringkat terburuk se-Asia Tenggara (Kompas, 3 Mei 2002).

Tak ayal lagi, pemanfaatan dunia pendidikan oleh kekuatan politik kekuasaan akan membuat pikiran, institusi, dan hati nurani menjadi beku (Kompas, op cit.).

Bahaya Kapitalisasi Pendidikan

Boni Setiawan (2000) memaparkan bahwa kapitalisme adalah sebuah realitas social yang merupakan bagian dari sejarah ekonomi Eropa Barat, sebagaimana diteoritisir oleh Adam Smith, David Ricardo, dan juga Marx.

Kapitalisme menjadi idiologi karena kesadaran kaum yang diuntungkan di dalam masyarakat itu. Kapitalisme serupa dengan komunisme ataupun idiologi-idiologi lainnya, karena mengidealkan terciptanya sebuah masyarakat masa depan yang makmur, akan tetapi dalam kenyataannya justru telah menyengsarakan bagian terbesar umat manusia.

Kapitalisme sebagai idiologi, kini berjaya karena lawan idiologisnya telah tumbang, sementara sampai sekarang belum terlahir idiologi praksis yang mampu “mengalahkannya” termasuk jalan ketiganya Anthony Giddens, jalan keempatnya (Sosialisme religius), ataupun “Islam”. Dengan demikian, ia semakin bahaya bagi umat manusia karena memonopoli kebenaran dan realitas.

Berkaitan dengan dunia pendidikan kita, kapitalisme ternyata sudah berurat dan berakar sehingga kita tidak bias membedakan antara tugas suci pendidikan dengan jaring-jaring atau perangkap kapitalisme. Pendeknya, dunia pendidikan kita tak ubahnya lading bisnis dan obyek KKN yang menggiurkan. Proyek buku paket, sekolah-sekolah inpres, perubahan kurikulum, pembukaan kelas-kelas jauh (Perguruan Tinggi), dan jual beli gelar akademis merupakan bukti fasih bahwa pendidikan kita telah menjadi sasaran empuk dari kapitalisme.

Sementara berbarengan dengan itu, peningkatan kualitas SDM jalan di tempat, kualitas pendidikan semakin merosot, dan kemakmuran rakyat semakin jauh panggang dari api. Oleh karena itu, bias dipastikan produk-produk pendidikan kita adalah manusia-manusia kapitalis, meterialis, individualis, dan kering akan nilai-nilai spiritualitas.

Dalam bahasa lain, Musa Asya’arie (Kompas, 28/5/2002) dunia pendidikan kita gagal melahirkan sarjana siap pakai, siap kerja, siap mandiri, apalagi menciptakan lapangan pekerjaan.

Revolusi Pendidikan : Sebuah Keharusan

Jalaludin Rakhmat (1999) Revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang paling spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa.

Dalam konteks pendidikan, dengan melihat anatomi pendidikan se3bagaimana diuraikan di atas, maka revolusi pendidikan merupakan suatu keharusan. Dimana prasyarat mutlaknya didahului dengan revolusi politik. Karena sampai saat ini (9 tahun reformasi) dengan 4 presiden belum ada kemauan politik yang benar-benar serius menangani pendidikan.

Revolusi pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah perubahan radikal dan spektakuler dalam dunia pendidikan guna terciptanya suatu sistem pendidikan yang humanis, mencerahkan, dan membebaskan. Serta membangun tiga wilayah kepribnadian manusia (Taksonomi Benyamin S. Bloom) yang meliputi : mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), membentuk watak dan sikap (affective domain), serta melatih ketrampilan (psychomotoric artau conative domain).

Proses revolusi tersebut tentunya melibatkan semua unsur-unsur masyarakat pendidikan, yang meliputi pengambil kebijakan, intelektual, LSM, praktisi pendidikan, masyarakat, dan peserta didik.

Model Pendidikan Gaya Bank VS Hadap Masalah

Setelah revolusi, maka langkah berikutnya adalah penetuan model pendidikan alternatif. Apakah menggunakan model pendidikan gaya bank, dimana proses pendidikan diartikan sebagai botol kosong dan peserta didik diibaratkan dengan kertas putih (Kompas, 7/5/2002). Ataukah model pendidikan hadap-masalah, dimana peserta didik dan guru serta aparat pendidikan lainnya berperan sebagai subyek pendidikan (Paulo Freire, 1995).

Model pendidikan gaya bank, sebagaimana telah kita laksanakan bertahun –tahun dalam sejarah pendidikan kita ternyata dapat dikatakan gagal mengemban amanat suci yang sejatinya. Hal ini terbukti dengan jelas ketika bangsa ini terpuruk akibat krisis multidimensional menyusul krisis moneter sejak Juli 1997.

Seberapa banyak sarjana-sarjana, praktisi-praktisi, intelektual, atau cendekiawan dalam berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan ternyata belum mampu memecahkan persoalan-persoalan tersebut secara cemerlang, karena sistem pendidikan kita, mengutip Arief Budiman (sekolahan Orde Baru) tidak terbiasa mendidik anak-anak bangsanya dengan masalah-masalah, selalu top-down, monolitik, anti dialog. Sehingga bukannya peneyelesaian krisis, alih-alih malah terpuruk semakin dalam.

Model pendidikan ini, menganut sistem patron-client. Ada subyek ada obyek. Ada guru ada murid secara dikotomis. Ada penindas ada tertindas dan seterusnya. Maka tak heran, bukannya kreatifitas yang muncul tetapi kemandegan kreatifitas berfikir. Bukannya pemerdekaan dan pembebasan (humanisme) tetapi pembelengguan dan pembatasan (dehumanisasi) yang terjadi. Akhirnya lahirlah manusia-manusia yang senang menindas, anti dialog, dan anti demokrasi.

Adapun model pendidikan hadap masalah yaitu model pendidikan yang menganut sistem kesetaraan. Artinya antara guru dan jurid sama-sama belajar. Guru belajar melalui murid dan diapun mengajar. Begitupun dengan murid. Ada kalanya menjadi guru. Jadi ada murid yang guru dan guru yang murid. Di sinilah proses dialog terjadi. Proses humanisasi terjadi sebaik-baiknya. Saling menghargai, tidak ada dominasi, dan akhirnya kreatifitas dan potensi yang dimiliki siswa (pengetahuan, watak / sikap, dan ketrampilan) akan berkembang dengan baik. Di sini, baik siswa ataupun guru sama-sama terbiasa untuk menghadapi dan memecahkan masalah bersama-sama. Dan institusi pendidikan pun tidak hanya sebatas dalam institusi formal, tetapi seluruh ladang kehidupan ini merupakan institusi pendidikan. Inilah hakekat pendidikan yang sebenar-benarnya.

Perbandingan Model Pendidikan

Gaya Bank

Hadap Masalah

1

Guru (subyek) – Siswa (obyek)

1

Guru dan siswa sama-sama jadi subyek. Obyeknya masalah-masalah atau materi pelajaran.

2

Sistem : patron-client

2

Sistem : kesetaraan.

3

KBM : di dalam kelas / laborataorium/perpustakaan.

3

KBM : dunia adalah sekolah (kehidupan).

4

Materi Kurikulum : Top - down

4

Materi Kurikulum : bottom – up.

5

Materi pelajaranm : ditentukan oleh guru.

5

Materi pelajaran : ditentukan bersama-sama menurut kesenangan dan keinginan / kebutuhan siswa.

6.

Evaluasi belajar : guru yang menentukan.

6

Evaluasi belajar : kebutuhan siswa.

7

Perolehan pengetahuan : verbal.

7

Perolehan pengetahuan : praksis di lapangan.

8

Hasil pendidikan : sebentar dan cepat hilang.

8

Hasil pendidikan : lebih tahan lama (membekas dan berdaya hasil guna).

9

Peran : guru sebagai pengajar yang dominan, dan murid / siswa yang diajar.

9

Peran : guru dan murid sama belajar dan mengajar.

Sumber : dari berbagai sumber.

Penutup

Seberapa besarnya pengaruh dunia pendidikan terhadap kehidupan, maka dapat kita lihat dari seberapa besarnya kita melibatkan kehidupan kita dengan dunia pendidikan. Oleh karena itu, ketika kehidupan kita di jaman yang katanya reformasi ini menghadapi berbagai masalah dan tak pernah terselesaikan, maka inilah suatu bukti bahwa memang dunia pendidikan kita tidak tergarap dengan baik.

Dari sinilah kita berangkat. Dari sinilah kita mulai. Kalau memang kita sayang dengan masa depan anak cucu kita, maka garaplah dunia pendidikan ini dengan sebaik-baiknya. Entah itu kepentingan idiologi, kelompok, golongan, atau faham apapun. Ketika kita bicara pendidikan, tinggalkan dulu itu semua. Karena yang paling kompeten dengan dunia pendidikan adalah generasi-generasi di bawah kita. Jangan sampai ada lagi lontaran seperti yang saya kutip di muka : “school is dead” atau “Sekolah itu Candu”.

***

Adipala, Cilacap, 29 Mei 2002

------------------------

*) Penulis adalah seorang Pendidik. Peneliti di LSM PSR-PS Cilacap dan Ketua Departemen Pengembangan Potensi Daerah MASIKA ICMI Orda Cilacap.

DAFTAR PUSTAKA

Roem Topatimasang, 1999, Sekolah itu Candu, INSIST – Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Jalaludin Rakhmat, 1999, Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi, Rosda Karya, Bandung.

Boni Setiawan, dkk., 2000, Sosialisme Religius: Suatu Jalan Keempat ?, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Paulo Freire, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta.

Kompas, Edisi 3, 7 dan 28 Mei 2002.