Kamis, 18 September 2008

Ideologi telah Mati !!!.


Oleh : Taufik Dwidjowinarto


Ideologi hari ini telah mati, telah berganti dengan pragmatisme. Itu adalah benar, namun anehnya ini justru akut menimpa Parpol yang mengaku berideologi Islam atau Parpol berideologi Nasionalis Poros Kanan yang berbasiskan konstituen umat Islam.

Di negeri simbahnya demokrasi, Amerika Serikat, yang oleh politikus Indonesia dijadikan kiblat Demokratisme dan Sekulerisme. Padahal kenyataannya tidaklah sesekuler yang diopinikan oleh politikus Indonesia.

Di Amerika Serikat, saat ini, sudahlah jamak dan bahkan nyaris sudah menjadi pertanyaan baku yang wajib untuk ditanyakan dan dijawab oleh para kandidat Capres & Cawapres : Bagaimana pandangan & sikap politiknya mengenai Homoseksual dan Lesbian ?, Homoseksual dan Lesbian merupakan Orientasi atau Pilihan ?, Aborsi merupakan hak warganegara ?, Aborsi perlu dilegalisasi secara formal untuk mengatur pelaksanaannya ?.

Bagaimana dengan di Indonesia ?.

Adakah Parpol Islam atau Parpol Nasionalis Poros Kanan sudah menyanyakan kepada kandidat Capres & Cawapresnya perihal pandangan & sikap Politiknya tenmtang : Bagaimana pandangan & sikap politiknya mengenai Undang-Undang Anti Pornografi & Pornoaksi ?, Bagaiman hubungan UU itu terhadap busana Kemben dan Bikini serta Thank Top ?. Bagaimana tentang Pluraisme & Hak Hidup Minoritas di Indonesia ?, Bagaiman Hak Hidup Ahmadiyah ?, Setujukah dengan pembubaran Ahmadiyah ?.

Rasanya Parpol Islam atau atau Parpol Nasionalis Poros Kanan yang Religius malah menganggap hal tersebut diatas adalah sepele dan dapat dikompromikan, sehingga apapun sikap politik kandidat balon Capres / Cawapres terhadap hal itu bukan merupakan pertimbangan Parpol itu mengusungnya sebagai Capres / Cawapres.

Namun ajaibnya, itu terjadi di Parpol Islam atau atau Parpol Nasionalis Poros Kanan, namun justru di Parpol Nasionalis yang Sekuler tuidak begitu.

Parpol Nasionalis Sekuler justru menganggap hal itu itu adalah hal penting dan menjadi pertimbangan utama Parpol dalam mendukung balon kandidat Capres / Cawapres. Bagi Parpol ini justru adalah hal yang penting perihal pandangan dan sikap dari kandidat balon capres & cawapres tentang : Bagaimana pandangan & sikap politiknya mengenai Undang-Undang Anti Pornografi & Pornoaksi ?, Bagaimana hubungan UU itu terhadap busana Kemben dan Bikini serta Thank Top ?. Bagaimana tentang Pluraisme & Hak Hidup Minoritas di Indonesia ?, Bagaiman Hak Hidup Ahmadiyah ?, Setujukah dengan pembubaran Ahmadiyah ?.

Parpol Islam & Parpol Nasionalis Religius Poros Kanan begitu jugakah ?. Rasanya tidak. Tak penting bagi politikus partai ini.

Maka tak salah jika ada yang mengatakan : dalam berpolitik praktis dan memilih Kandidat Balon Capres & Cawapresnya yang akan didukungnya, ternyata Parpol Nasionalis Sekuler justru lebih ideologis dalam pertimbangan politiknya, dibandingkan parpol Islam dan Parpol Nasionalis Religius .

Atau Ideologi memang hari ini sudah Mati ??? .

Wallahu’alambishshawab.

*****


Idolisasi berkembang, sementara ideologisasi tersendat.

Inilah satu gejala penting yang terlihat di balik pengajuan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 yang riuh rendahnya belum hilang. Alih-alih tekun menjalani ideologisasi, nyaris semua partai lebih senang mengambil jalan pintas idolisasi.

Ideologisasi adalah menanam dan memperkuat identitas partai dalam tiga pengertian sekaligus.

Pertama, identitas partai yang pada mulanya masih rapuh diperkuat dengan mematangkan orientasi politik dan platform kebijakan mereka.

Kedua, pemahaman identitas partai (ideologi, orientasi politik, atau platform) yang pada mulanya hanya menjadi gejala di kalangan elite partai diluaskan sebagai gejala pada anggota, pendukung, dan simpatisan.

Ketiga, partai menegaskan pemosisian (positioning), diferensiasi (pembeda pokok yang dimilikinya vis a vis partai lain), dan branding (penegasan merek atau simbolisasi diri).

Ideologisasi partai diwujudkan, antara lain, melalui pembakuan mekanisme perekrutan politik serta kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan. Dalam kaitan dengan pengajuan caleg, ideologisasi ditandai dengan mengemukanya nama politisi partai yang membina diri dari bawah bersama partai serta membentuk kualifikasinya di tengah calon konstituen mereka. Ideologisasi partai adalah kerja panjang dan melelahkan. Dibutuhkan ketekunan partai dan politisi dalam memupuk dan menyuburkan modal politik mereka dari waktu ke waktu.

Ideologisasi diwujudkan dengan membangun hubungan pertukaran berjangka panjang dan bukan sekadar transaksi yang berjangka pendek dengan calon pemilih.

Idolisasi adalah jalan pintas. Alih-alih merekrut politik serta melakukan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan dengan tekun, partai justru secara instan mencari figur publik, khususnya kalangan pesohor yang sudah populer.

Suara digalang tak melalui proses pembentukan hubungan pertukaran, tetapi melalui ikatan keterpesonaan dan kultus pemilih terhadap idola mereka.

Dari balik gejala idolisasi inilah pesohor mendapatkan jalan lapang menuju daftar caleg. Idolisasi tak butuh kerja politik yang menguras energi dan pikiran. Ia adalah sebuah proses instan yang berorientasi pada hasil cepat dan kasatmata.

Dalam idolisasi, popularitas mengatasi kompetensi. Dukungan dan pilihan digalang bukan dengan membangun pertukaran rasional-kalkukatif dengan pemilih.

Berkembangnya idolisasi sekaligus menggarisbawahi bahwa umumnya partai politik tak menguat dan mendewasa setelah tumbuh selama satu dekade.

Partai tumbuh hampir tanpa pembeda. Nyaris tanpa karakter. Nyaris semua partai pun sama adanya. Wajarlah bilamana politisi meloncat-loncat dengan mudah dari satu partai ke partai lainnya. Berpindah partai menjadi gejala biasa selayaknya orang pindah kendaraan umum.

Kecenderungan idolisasi memang nyaris merata pada semua partai. Tetapi, gejala ini terjadi paling masif dalam tubuh Partai Amanat Nasional (PAN) di bawah kepemimpinan Soetrisno Bachir.

Celakanya, gejala idolisasi tak hanya kita saksikan dari balik pengajuan caleg Pemilu 2009. Gejala ini dengan mudah ditemui dalam beragam bentuk.

Pejabat publik di mana-mana sekarang ini mempunyai kecenderungan baru untuk memampang wajah mereka dalam poster, spanduk, dan baliho promosi kebijakan atau anjuran kebajikan (menjaga tertib lalu lintas dan membuang sampah di tempatnya). Menteri berlomba menaruh wajah mereka besar-besar dalam iklan layanan masyarakat, baik dalam media cetak, media elektronik, terutama televisi, maupun media luar ruang yang terpampang di pinggir-pinggir jalan serta di tengah fasilitas publik lainnya.

Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, sekadar misal, berlomba menyebut rekor kunjungan ke daerah tertinggal. Pada saat yang sama, dia lupa menjelaskan secara benderang program apa saja yang sudah, sedang, dan akan dijalankannya untuk mengentaskan rakyat tertinggal di berbagai pelosok Tanah Air.

Alih-alih berusaha membuktikan diri sebagai pejabat publik yang pandai menjaga mandat, bertanggung jawab, dan mewakili publik, mereka berlomba- lomba menjadi orang-orang populer.

Mereka dengan sigap berusaha semacam idola. Idolisasi adalah refleksi kegagalan membangun dan mematangkan partai dan sistem kepartaian secara layak. Dalam batas-batas tertentu, idolisasi mewakili terbangunnya—meminjam istilah dari mantan Presiden Republik Ceko Vaclav Havel— ”estetika kedangkalan”. Ia mewakili sebuah persoalan serius dalam demokratisasi kita.

Berkembangnya gejala idolisasi itu mengingatkan kita bahwa ”demokrasi bisa menua tanpa menjadi dewasa”. Selayaknya kita menghindari kemungkinan ini. Inilah salah satu bahan introspeksi penting setelah kita menjalani satu dasawarsa demokratisasi.

Analisisis Politik : Ideologisasi Versus Idolisasi . Eeep Saefulloh Fatah. 16 September 2008. http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/16/01593587/ideologisasi.versus.idolisasi

*****


Meski gelombang penolakan belum juga reda, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dijadwalkan disahkan DPR pada 23 September. Fraksi di DPR minus PDIP dan PDS menyepakati RUU yang sudah lama terkatung-katung ini untuk segera diundangkan.

"Skedulnya begitu (pengesahan). Kalau di panitia kerja (panja) sendiri materi yang krusial sudah selesai. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju," ujar Ketua FPKS Mahfudz Siddiq pada detikcom via telepon, Senin (15/8/2008).

Mahfudz menjelaskan, RUU Pornografi yang akan disahkan nanti lebih difokuskan pada pengaturan mengenai pornografinya saja, bukan pornoaksi seperti pada awal RUU ini diusulkan.

"RUU ini fokus pada pengaturan soal pornografinya saja. Khususnya soal produksi, distribusi, dan penjualan media-media yang mengandung unsur pornografi," kata pria kalem ini.

Mahfudz menambahkan, dua fraksi yakni PDIP dan PDS menyatakan tidak ikut bertanggung jawab jika RUU ini benar-benar diundangkan. "Kita tidak tahu apakah nanti dalam pengambilan putusan akhir mereka akan walk out atau tidak. Yang jelas, 8 fraksi lain setuju," ujarnya.

Apa saja pasal-pasal yang tidak disetujui PDIP dan PDS ?.

"Dua fraksi ini dari awal sudah tidak ikuti panja. Padahal ada perubahan yang signifikan, jadi bukan pasal-pasal tertentu yang mereka tidak setujui, tapi semua", kata dia.

Hadiah Ramadan PKS.

Lebih lanjut, Mahfudz menambahkan, disahkannya RUU ini merupakan hadiah terindah bagi PKS di Bulan Ramadan ini. Ia pun meminta agar publik tidak lagi disibukkan dengan perdebatan norma, namun fakta sosial yang harus diperhatikan.

"Ini nggak bisa dibiarkan. Sementara kita desak aparat untuk tegas, mereka seringkali bilang belum ada payung hukum. Inilah yang kita akan jadikan payung hukum," pungkasnya.

RUU yang akan disahkan ini dulunya bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi (APP). Namun setelah menimbulkan kontroversi, RUU ini direvisi menjadi RUU Pornografi. Pengesahan RUU ini diprediksi juga akan mendapat tentangan dari sebagian kalangan.


RUU Pornografi Disahkan 23 September, PDIP dan PDS Lepas Tangan.
15/09/2008 09:43 WIB.
http://www.detiknews.com/read/2008/09/15/094337/1006146/10/ruu-pornografi-disahkan-23-september-pdip-dan-pds-lepas-tangan

***


RUU Pornografi nyaris tidak menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Wajar saja, anggota DPR yang menggodok RUU itu pun juga sudah tidak punya 'tenaga' untuk menggolkan RUU kontroversial tersebut ke dalam sebuah undang-undang.

Wakil ketua Pansus RUU Pornografi malah berharap, RUU tersebut tidak akan disahkan hingga akhir masa tugas DPR periode ini.

"Kalau bisa RUU itu tidak disahkan. Dari awal kita di PDIP sebenarnya sudah menolak RUU ini. Tapi kita ikut membahasnya di dalam. Kita bisa memangkas hal-hal yang dianggap keras dan berbau syariat," ujar Wakil Ketua Pansus RUU Pornografi, Agung Sasongko.

Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi tentang RUU Pornografi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (8/4/2008).

Menurut Agung, politik memang penuh dengan kepentingan. Jika suatu RUU dianggap tidak terkait dengan kepentingan, jangan kira RUU bisa melenggang dengan mudahnya menjadi UU.

"Politik bisa gelap, bisa juga terang. Jangan heran jika di program legislasi nasional (Prolegnas) tidak ada tapi tiba-tiba muncul RUU yang harus dibahas," jelas politisi dari PDIP ini.

Berbeda dengan RUU Pemilu yang dengan cepatnya disahkan, menurut Agung RUU Pornografi terkatung-katung selama kurang lebih empat tahun karena tidak memiliki kepentingan langsung dengan politik.

Sementara itu, aktivis perempuan yang juga penulis buku Ayu Utami tetap bersikukuh pada pendirian awal, yakni menolak adanya RUU yang ia sebut RUU Malaikat tersebut.

"RUU yang turun dari malaikat itu kok bisa muncul. Rapatnya seperti apa, kok bisa keluar kata-kata seperti itu," ujar Ayu Utami.

Kata-kata seperti itu, yang dimaksud Ayu Utami adalah, dalam RUU tersebut, terdapat sekitar 133 kata seks, 172 kata porno, 23 kata erotis dan sebagainya.

"Sebagai seniman, kita ingin tunjukkan kita berani melihat keburukan kita sendiri," pungkasnya.


RUU Pornografi Terseok-seok.
08/04/2008 16:54 WIB. http://www.detiknews.com/read/2008/04/08/165435/920314/10/ruu-pornografi-terseok-seok
***
Sumber :
Mailis Syiar-Islam@yahoogroups.com
Kamis, 18 September 2008



Tidak ada komentar: