Sabtu, 11 Oktober 2008

KEBETULAN YANG BUKAN KEBETULAN

Oleh: Audifax
audivacx@yahoo.com

Research Director di SMART Center for Human Re-Search & Psychological
Development


"There's no accident", demikian kata Sigmud Freud. Intinya, tak ada
kebetulan murni di dunia ini. Setiap kebetulan adalah 'kebetulan yang
bukan kebetulan'. Filosofi inilah yang coba diusung James Redfield
lewat Celestine Prophecy. Redfield mengajak kita merasakan adanya
energi Ilahi yang bekerja dan muncul lewat kebetulan-kebetulan .
Inilah bukti bahwa alam semesta mendengar ketulusan doa tiap manusia
dan membantu lewat serangkaian kebetulan.

Jauh sebelum konsep Law of Attraction dikemukakan Rhonda Byrne dalam
'The Secret', Carl Gustav Jung sudah lebih dulu mengemukakan konsep
sinkronisitas. Konsep Jung inilah yang tampak kental mewarnai trilogi
novel 'Celestine Prophecy' karya Redfield. Novel yang menjadi best
seller di pergantian milenium itu telah menginspirasi banyak orang.

Pada Juni 2008, Gramedia Pustaka Utama menerbitkan 'Celestine
Vision'. Di buku ini Redfield memaparkan landasan teoritis dari novel
'Celestine Prophecy'. Dijelaskannya bahwa alam semesta adalah sistem
dinamis yang digerakkan oleh aliran keajaiban-keajaiban kecil yang
berlangsung secara terus-menerus. Bukan itu saja. Alam semesta juga
merespon kesadaran kita melalui berbagai kebetulan yang dapat kita
alami setiap saat.

Hidup adalah Kemungkinan
Kebetulan bisa menyangkut munculnya seseorang pada saat yang tepat
dengan membawa informasi atau sesuatu yang memang kita cari. Bisa juga
kesadaran mendadak bahwa hobi atau ketertarikan yang kita miliki di
masa lalu, ternyata merupakan persiapan untuk menangkap kesempatan
atau peluang kerja di depan mata.

Psikolog Swiss, Carl Jung, adalah pemikir modern pertama yang
menjelaskan fenomena misterius ini. Ia menyebut dengan istilah
sinkronisitas. Jung berpendapat sinkronisitas adalah prinsip
sebab-akibat dalam alam semesta, hukum yang menggerakkan umat manusia
menuju pertumbuhan kesadaran yang lebih besar.

Dalam 'Celestine Vision', Redfield mengemukakan bahwa kunci paling
penting dalam upaya memanfaatkan berbagai sinkronisitas dalam
kehidupan kita, adalah tetap waspada serta meluangkan waktu untuk
mengkaji apa yang sedang berlangsung. Kita mesti mulai melihat bahwa
berbagai kebetulan dalam hidup kita, adalah misteri yang membawa kita
berhadapan langsung dengan pertanyaan-pertanya an spiritual yang lebih
dalam tentang kehidupan.

Di sini kita bisa mensimetrikan pendapat Redfield dengan Martin
Heidegger, yang mengungkapkan pemikiran bahwa barangsiapa mencari
kedalaman, mulailah dengan yang dangkal-dangkal dan melihat
kedangkalan dengan tatapan yang cermat dan dalam, maka kedalaman itu
akan muncul dari hal-hal yang bersifat permukaan.

Heidegger melihat bahwa manusia adalah entitas yang bergerak dalam
pemahaman tentang Ada-nya di dunia. Maka dalam keseharianpun, manusia
dapat memetik pemahaman tentang 'Ada' melalui kewaspadaan dan
meluangkan waktu untuk mengkaji apa yang sedang berlangsung. Dalam
'Being and Time', Heidegger mengatakan ini sebagai mistik keseharian,
yaitu bersikap mistis dalam keseharian; yang berarti menghayati
keseharian secara mendalam sampai ke dasar-dasar Ada kita sendiri,
dengan cara terus-menerus menanyakan Ada.

Sinkronisitas dan Energi Ilahi
Sinkronisitas bisa dirasakan ketika manusia bersikap mistis dalam
keseharian seperti dimaksudkan Heidegger. Sinkronisitas adalah
kesadaran tentang bagaimana hal-hal Ilahi terjadi dalam kehidupan
kita. Dalam sinkronisitas, terjadi penyatuan antara transendensi dan
imanensi. Tuhan tidak mengawang-awang di atas sana, melainkan hadir
melalui kebetulan-kebetulan di keseharian. Kebetulan yang sejatinya
merupakan jawaban atas doa kita.

Berarti di sini manusia mesti terlebih dulu membuat keputusan mengenai
arah hidup dan selanjutnya peka terhadap kebetulan-kebetulan yang
menuntun pada arah yang dituju. Dengan menyadari sinkronisitas,
diharapkan kita tak lagi melempar tanggung jawab hidup kita ke atas
langit, namun berani menghadapi dan memutuskan apa yang mau kita tuju.

Di sinilah kita diajarkan bertanggungjawab atas konsekuensi keputusan
hidup. Melalui cara pandang Celestine, manusia diajak melihat bahwa
alam semesta bukan bekerja atas dasar "Manusia berusaha, Tuhan
menentukan", melainkan "Manusia menentukan, Tuhan mengusahakan".

Jika penentuan dianggap ada di tangan Tuhan, maka tak ada tanggung
jawab manusia atas hasil keputusannya sendiri. Padahal, justru manusia
mesti menentukan terlebih dahulu apa yang diinginkannya. Jika
keinginan itu selaras dengan keseimbangan semesta, maka energi Ilahi
itu akan membantu (mengusahakan) tercapainya keinginan lewat
kebetulan-kebetulan yang sejatinya bukan kebetulan.

***

Tidak ada komentar: