Sabtu, 11 Oktober 2008

Global Warming: Kita harus waspada!

By : Ma'rufin Sudibyo

Salah satu tema paling seksi dalam khazanah
astrofisika adalah mass extinction alias pemusnahan
massal. Ini adalah peristiwa dimana populasi dan
kelimpahan makhluk hidup di Bumi mendadak menyusut
dalam skala waktu yang sangat pendek (kurang dari 1
juta tahun, teramat singkat dalam skala waktu geologi)
dibanding semula.

Dalam 500 juta tahun terakhir di Bumi terjadi
sedikitnya lima episode pemusnahan massal berskala
besar, yakni 435 juta tahun silam (akhir Ordovisian),
374 juta tahun silam (akhir Devon), 250 juta tahun
silam (batas Permian-Trias), 201 juta tahun silam
(akhir Trias) dan 65 juta tahun silam (batas
Kapur-Tersier).

Yang terakhir ini memang terpopuler
sebab pada saat itulah kawanan reptil raksasa
dinosaurus musnah lenyap kehidupannya bersama 75 %
makhluk Bumi saat itu. Namun pemusnahan massal
terdahsyat terjadi 250 juta tahun silam kala 96 %
populasi makhluk hidup mendadak lenyap.

Baik pemusnahan massal pada batas Permian-Trias maupun
pada batas Kapur-Tersier diduga kuat berkaitan dengan
kejadian tumbukan benda langit raksasa yang terkoneksi
dengan banjir lava basalt.

Pemusnahan massal 250 juta tahun silam diduga erat terkait dengan terbentuknya Kawah Bedout (diameter 200 km) di Australia Barat
sebagai kawah satelit dan kawah Wilkes Land (diameter
400 km) di Antartika sebagai kawah utama serta banjir
lava basalt di Siberia. Rekonstruksi posisi kedua
kawah untuk waktu 250 juta tahun silam menunjukkan
keduanya berada di zona Kutub Selatan masa itu,
sementara pusat banjir lava basalt Siberia berada di
dekat Kutub Utara masa itu, atau di sekitar antipode
(titik-lawan) kawah Bedout dan Wilkes Land.

Sementara pemusnahan massal di batas Kapur-Tersier
diduga kuat terkait dengan terbentuknya Kawah
Chicxulub di Mexico (diameter 200 km) dan banjir lava
basalt Dekan di India. Sama juga, rekonstruksi pusat
banjir lava basalt Dekan untuk 65 juta tahun silam
menunjukkan dirinya berada di sekitar antipode Kawah
Chicxulub. Belakangan di sekitar lokasi banjir lava
ini juga didapati kawah tumbukan lain yang tak kalah
besarnya, Kawah Shiva (panjang 600 km lebar 450 km)
yang juga terbentuk 65 juta tahun silam.

Rekonstruksi posisi kawah Chicxulub dan Shiva ini untuk waktu 65
juta tahun nsilam menunjukkan keduanya memang berada
dalam sistem pode-antipode alias saling berseberangan.

Salah satu 'substansi penghancur' dalam pemusnahan
massal adalah kadar CO2 yang sangat berlebih di
atmosfer, yang menyebabkan pemanasan global.

Pada pemusnahan massal 250 juta tahun silam kadar CO2 di
atmosfer mencapai 3.000 ppm atau 0,3 %. Sementara
dalam pemusnahan massal 65 juta tahun silam kadar
CO2-nya 'hanya' 1.000 ppm. O' Keefe dan Aherns (1989)
menyimulasikan, dengan basis kadar CO2 masa kini yang
diasumsikan 350 ppm, tumbukan asteroid batu/besi
berdiameter 10 km ataupun komet berdiameter 14 km akan
membuat kadar CO2 di atmosfer melonjak hebat hingga
1.500 ppm oleh melelehnya sedimen karbonat yang
menjadi target tumbukan dan kebakaran hutan global
yang menjadi dampak lanjutan dari tumbukan.

Implikasinya suhu rata-rata permukaan Bumi pun naik
10º C dari nilai semula. Padahal kenaikan suhu
rata-rata sebesar 4º C saja sudah cukup untuk
meleburkan seluruh gletser yang tersisa di Bumi dan
juga padang es di Arktika dan Antartika. Terjadinya
pemanasan global pada 250 juta tahun silam dan 65 juta
tahun silam dapat diketahui dari anomali rasio isotop
C-13/C-12 yang berharga 0,4 (padahal normalnya hanya
0,27).

Kini atmosfer Bumi kita mengandung CO2 sebanyak 375
ppm (nilai tahun 2005). Oleh pemakaian bahan bakar
fossil yang diimbangi dengan pembabatan hutan secara
besar-besaran, maka terjadilah penambahan CO2 di
atmosfer sebanyak 3 ppm/tahun yang diikuti dengan
kenaikan permukaan rata-rata air laut sebesar 3,1
mm/tahun dan kenaikan suhu rata-rata 0,05º C. Jika
semuanya berjalan secara linier, kondisi udara saat
musnahnya dinosaurus (yakni kadar CO2 1.000 ppm)
memang baru akan tercapai pada 2215 CE alias 208 tahun
lagi.

Namun melelehnya semua es di permukaan Bumi
(termasuk kutub) akan terjadi lebih cepat, yakni dalam
4/0,05 = 80 tahun lagi atau pada 2090 CE kelak.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
bahkan menyebut kenaikan suhu 4º C akan terjadi lebih
cepat lagi, yakni dalam 70 tahun mendatang.

Meski 'hanya' 4º C namun harap diingat bahwa 30 %
makhluk hidup Bumi saat ini sangat sensitif terhadap
perubahan suhu, sehingga kenaikan suhu global sebesar
2º C saja sudah mampu memusnahkan mereka. Jika suhu
global sampai naik 4º C maka 30 % lahan basah akan
hilang. Implikasinya tentu sangat luar biasa.

Kemusnahan macam ini setara dengan dampak tumbukan
masa Eosen (35 juta tahun silam) yang membentuk kawah
Chesapeake Bay (diameter 95 km, lokasi New York) dan
Popigai (diameter 100 km, lokasi Russia timur).

So, tanpa harus menanti komet Armageddon jatuh
menumbuk Bumi, kita manusia pun bisa menciptakan
pemusnahan massal dalam 70 - 80 tahun ke depan.
Rumusnya "sangat sederhana" : bakar semua bahan bakar
fossil dan organik serta babat segala macam hutan.

Pemusnahan massal akibat pemanasan global, menurut
IPCC, sebenarnya bisa dicegah jika emisi GRK (gas
rumah kaca, yakni kumpulan gas CO2, CH4, SO2, SO3,
NO2) dikendalikan hingga 2030 mendatang pada rentang
445 - 490 ppm, sehingga kenaikan suhu global bisa
ditahan hanya mencapai 2 - 2,4º C. Namun kini kadar
GRK di atmosfer sudah mencapai 400 - 515 ppm (angka
tahun 2005), sehingga one-way ticket menuju pemusnahan
massal memang sudah mulai kita pegang.

Ditambah dengan kebebalan negara-negara maju yang tidak mau menurunkan
tingkat emisi GRK-nya, menurunkan keserakahannya dan
lebih memilih berjual beli karbon yang sungguh tidak
ada kaitannya dengan upaya menurunkan emisi guna
mendinginkan suhu Bumi, nampaknya tiket itu makin kuat
tergenggam.

So, apakah mau begitu?
salam
***

Sumber :
http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg28375.

Tidak ada komentar: