Rabu, 19 November 2008

Perangkap Demokrasi

Penulis: Oleh: Ibrahim Akademisi
Universitas Bangka Belitung

“...demokrasi merupakan
perangkap bagi masyarakat yang tidak mampu untuk memahami substansi
dari
demokrasi. Tertipu oleh calon wakil rakyat lantaran pendekatannya yang
berlebihan menjelang pencoblosan menawarkan posisi yang berbahaya bagi
sistem
perwakilan.. .” WAKIL rakyat
merupakan terjemahan dari rakyatnya. Jika rakyatnya adalah penggemar
film-film
sinetron, maka mereka juga akan memilih pemimpin dari kalangan
selebritis. Jika
rakyatnya adalah orang-orang culas, maka mereka juga pasti memilih
wakil mereka
dari kalangan orang-orang culas. Wakil rakyat itu mencerminkan siapa
rakyatnya. Inilah gagasan dasar dari demokrasi yang diadopsi dari
demokrasi ala
Yunani yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Pemilu di Indonesia dan
hampir
semua negara yang menganut sistem demokrasi. Kita memang tidak mungkin
mengembalikan demokrasi Yunani dalam hal kelangsungannya sebagaimana
terjadi di
Athena dulu dimana Raja mengumpulkan semua warganya untuk dimintai
pendapat.
Mereka tidak membutuhkan bilik suara karena mereka tidak menganut
sistem
representasi. Tidak ada PPS, tidak ada KPPS, juga tidak ada KPU,
apalagi
milyaran rupiah sebagai ongkosnya. Demokrasi pada masa itu adalah
demokrasi substansi secara langsung dimana rakyat betul-betul ikut
memutuskan
kebijakan sang pemimpin. Untuk tidak mengatakannya purba, lantas untuk
menghemat
biaya, dewasa ini digunakanlah sistem pencoblosan. Dibangunlah TPS-TPS
yang
tersebar setiap 300 warga. Tujuannya efisiensi. Namun efisiensi itu
kemudian
dipertanyakan definisinya ketika ongkos berdemokrasi justru menjadi
sangat
mahal. Memang tidak mungkin untuk mengembalikan kejayaan demokrasi
langsung
sebagaimana digagas dulu di Yunani, namun meluruskan maknanya
barangkali perlu
dilakukan. Demokrasi perwakilan yang merupakan bentuk penyederhanaan
dari
sistem demokrasi langsung senafas dengan misinya, yakni perwakilan.
Wakil rakyat
merupakan terjemahan dari rakyatnya. Jika rakyatnya adalah penggemar
film-film
sinetron, maka mereka juga akan memilih pemimpin dari kalangan
selebritis. Jika
rakyatnya adalah orang-orang pragmatis,maka mereka juga akan memilih
wakil dari
kalangan pragmatis. Jika rakyatnya adalah orang-orang yang taat
beribadah,
mereka juga pasti akan memilih wakil yang suka beribadah, sebaliknya
jika
rakyatnya adalah orang-orang culas, maka mereka juga pasti memilih
wakil mereka
dari kalangan orang-orang culas. Demokrasi menganut sistem equity.
Suatu
situasi dimana warganegara ditempatkan dalam derajat kesesuaian yang
sama dalam
aksesnya terhadap sistem politik. Demokrasi menempatkan kesejajaran
sebagai
produk unggulan. Kesejajaran ini yang menjadi kelemahan sekaligus
kekuatan dari
demokrasi. Demokrasi memberikan jatah satu suara kepada satu nyawa yang
dianggap
dewasa tanpa pertimbangan apapun. Titik. Disinilah kekuatan dan
kelemahan itu bersenyawa dalam zat bernama demokrasi. One man one vote
adalah
kekuatannya, pada saat yang bersamaan jatah ini diberikan tanpa
memperhatikan
latar belakang pemiliknya. Tidak ada perlakuan yang berbeda. Politisi
dapatkan
satu suara, agamawan juga, tokoh masyarakat juga, pelacur satu suara,
preman
pasar satu suara, narapidana satu suara, residivis juga satu suara.
Apakah ini
menjadi sebuah kelemahan atau kekuatan dari demokrasi? Tergantung dari
sudut
pandang mana seseorang melihatnya. Saya pun tak dapat mendefinisikan
ini sebagai
sebuah kekuatan atau kelemahan dari sistem demokrasi. Baiklah, sekarang

mari melongok pada satu tahun menjelang penyaluran sistem representasi
tersebut.
Jika anda berjalan kemanapun, anda akan melihat begitu banyak poster
orang-orang
yang ingin memperkenalkan diri. Sarananya bermacam-macam dengan gaya
yang
bermacam-macam juga. Jika melihat kualitas calon, nyata bahwa mereka
menjadi cerminan gado-gado dari rakyat yang akan diwakilinya. Ada calon
wakil
rakyat yang (maaf) hanya tamatan SMA. Ini juga menjadi cerminan rakyat
kita yang
memang masih banyak tamatan SMA. Ada calon wakil rakyat yang
terindikasi
menggunakan ijasah palsu, ini juga semakin menegaskan bahwa rakyat kita
memang
banyak yang (kepepet) menggunakan ijasah palsu. Namun ada juga calon
yang
ternyata S2, walau sedikit. Lagi-lagi ini juga mencerminkan minimnya
lulusan S2
di negeri ini. Pendek kata, calon wakil rakyat mencerminkan rakyatnya.
UU yang mengatur tentang sistem perwakilan memang juga tidak
neko-neko.
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota DPR,DPRD, dan
DPD
menyederhanakan persoalan perwakilan. Mulai dari syarat pendidikan,
sampai pada
syarat umur. Anda cukup mengantongi ijasah SMA atau sederajat (termasuk
paket
C). Semuanya digampangkan. Yang menggodok UU ini pun nampak sangat
menyadari kelemahan mereka sehingga membuat persayaratan yang sederhana
dan
kontekstual. Tidak dicoba untuk memaksa calon wakil rakyat menyesuaikan
diri
dengan aturan yang lebih tinggi. Dalam sistem Trias Politika
sebagaimana
dianut Indonesia, pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan

yudikatif sangat jelas maksudnya. Legislatif harus mampu menjadi
lembaga kontrol
terhadap sistem dan kinerja eksekutif dan yudikatif. Itulah sebabnya
lembaga
legislatif berhak memanggil dan meminta pertanggungjawaban eksekutif
dalam hal
melaksanakan misinya sebagai lembaga kontrol. Namun saya kok khawatir
fungsi
kontrol ini tidak bekerja secara optimal lantaran standard rekruitmen
anggota
legislatif cenderung lebih disederhanakan di bawah eksekutif.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah,
legislatif mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Didalamnya
melekat kewenangan untuk membahas anggaran, membentuk Perda, dan
memberikan
pertimbangan. Soal kualitas memang tidak bisa disederhanakan hanya
dengan
pendidikan dan ini sangat debateble, namun mampukah fungsi legislatif
ini
bekerja jika kualitas legislatif berada di bawah kualitas eksekutif?
Saya sih
tidak yakin betul. Begini, pembuka sapaan yang panjang di atas
sebetulnya
ingin bermuara pada satu pesan singkat untuk masyakat luas, bahwa
demokrasi
merupakan perangkap bagi masyarakat yang tidak mampu untuk memahami
substansi
dari demokrasi. Tertipu oleh calon wakil rakyat lantaran pendekatannya
yang
berlebihan menjelang pencoblosan menawarkan posisi yang berbahaya bagi
sistem
perwakilan. Harus diakui bahwa banyaknya ketidakberesan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan di negeri bernama Indonesia ini mengarah
pada satu
hal: lemahnya pengawasan. Utusan kita di legislatif nyatanya tak dapat
berperan
banyak menghadapi hegemoni pemerintah. Berarti ada proses rekrutmen
yang salah
dalam sistem pemilihan utusan rakyat tersebut. Begitu banyak regulasi
yang mengatur tata kerja dan optimalisasi fungsi pemerintahan, namun
karena
pengawasan yang lemah, maka terciptalah peluang bagi praktik-praktik
yang
menyimpang. Saatnya seluruh rakyat di negeri ini menata hati dan
pikiran,
membeningkan akal dan jiwa, agar mampu berpikir secara jernih untuk
memutuskan
akan menitipkan suara pada siapa. Salah memilih wakil rakyat berarti
kita ikut
menghancurkan negeri ini dari dalam. Kesalahan memilih wakil membuat
kita harus
menunggu lima tahun lagi untuk meralatnya. Pikirkanlah !

sumber :
Bangka Pos edisi: Jum'at, 14 November 2008 WIB

Tidak ada komentar: