Senin, 17 November 2008

Muslim Imperior

Tulisan ini adalah hasil renungan yang terinspirasi dari artikel karya
Ukhti Mirzah di sini dan di sini. Â Artikel tersebut berjudul
Fenomena Baru UIN, yang isinya adalah seputar curhat sang penulis terhadap keadaan memprihatinkan dalam proses belajar-mengajar di program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Dalam artikel tersebut, ukhti Mirzah mengomentari bagaimana para mahasiswa seperti dirinya terpaksa menerima kenyataan betapa kuatnya hegemoni kaum sekuler-liberal di kampus yang seharusnya melahirkan para pembela Islam tersebut. Mereka terpaksa diam dan manggut-manggut saja ketika mendengarkan kuliah dari para tokoh liberal seperti Kautsar Azhari Noer, Azyumardi Azra, Suwito, dan semacamnya.

Mereka juga terpaksa menurut ketika para dosen memaksanya untuk
menanggalkan predikat Subhaanahu wa Ta’ala (SWT) di belakang nama Allah dalam setiap makalah, tesis atau disertasi.  Hal yang sama berlaku juga untuk predikat shallallaahu ‘alaihi wa sallam (saw.) di belakang nama Rasulullah, bahkan terlarang juga menyebut beliau sebagai Nabi. Alasannya adalah karena yang mengakui predikat-predikat tersebut hanya orang Islam, sedangkan Non-Muslim tidak.

Lebih lanjut, para dosen juga memaksa mahasiswa untuk menanggalkan
kalimat-kalimat semacam Islam sebagai agama yang sempurna dan Islam
sebagai agama yang haq”.  Alasannya sama saja, yaitu karena yang
mengakui kesempurnaan dan kebenaran Islam hanya orang Islam saja, lain
tidak. Seolah-olah jika mengatakan suatu hal yang tidak disepakati semua orang, maka hal itu telah mengurangi keilmiahan sebuah karya tulis.

Membaca curahan hati ukhti Mirzah, saya teringat pada sebuah dialog yang diceritakan oleh salah seorang ustadz. Dialog tersebut adalah
antara Prof. Naquib al-Attas dengan seorang profesor lainnya yang
beragama Nasrani.

Saat itu, sang profesor Nasrani memprotes Prof. Naquib al-Attas karena dalam ceramah-ceramahnya selalu mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar, agama yang haq, dan sebagainya. Jawabannya kira-kira begini, Bagi seorang Muslim, saya tidak berhak untuk menyebut agama lain sebagai agama yang benar. Saya juga tidak menuntut orang lain
untuk mengakui agama saya sebagai agama yang paling benar. Kalau Anda
cukup yakin dengan agama Anda, Anda pun tak perlu menuntut pengakuan orang lain terhadap agama Anda.

Terlihat jelas bahwa jalan pikiran Prof. Naquib al-Attas jauh bersimpang dengan pemikiran para pengelola kampus UIN Syarif Hidayatullah. Yang satu percaya diri dengan keputusannya memeluk agama Islam, yang satunya lagi ketahuan jelas inferiornya.

Jika para dosen UIN bersikeras dengan cara berpikir gaya inferior seperti itu, maka mereka takkan pernah mendapat manfaat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, padahal keduanya adalah sumber hukum dan pemikiran yang
paling utama bagi umat Islam. Keduanya penuh dengan klaim sepihak yang hanya diakui oleh umat Islam, dan memang tak ada tuntutan bagi kaum Non-Muslim untuk ikut mengakuinya.

Bahkan secara khusus Allah SWT menurunkan surah Al-Kaafiruun yang mengajari kita untuk mempertegas perbedaan keyakinan kita dengan orang-orang kafir. Enam ayat singkat (yang sayangnya hanya sering diulas ayat terakhirnya saja) itulah yang mendidik jiwa seorang Muslim untuk memiliki kepercayaan diri yang kuat terhadap agamanya, seperti yang telah ditunjukkan oleh Prof. Naquib al-Attas.

Karena cara berpikirnya yang sudah tidak nyambung dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka bisa dipastikan pengajaran yang diberikan oleh para dosen di UIN tersebut tidak akan pernah sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Barangkali sudah sepatutnya mereka bertanya pada diri sendiri : ketika mengucap syahadatain, apakah mereka meminta persetujuan dari Non-Muslim dulu sebelumnya? Ketika bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah, apakah mereka minta ijin dulu kepada mereka yang tidak ber-aqidah Tauhid?

Ketika bersaksi bahwa Muhammad saw. adalah utusan-Nya, apakah mereka minta persetujuan Joseph Schacht, Goldziher, atau para orientalis semacamnya?

Orang-orang sekuler-liberal memang ada di barisan terdepan dalam hal melecehkan (atau setidaknya melucuti pujian terhadap) Allah SWT dan Rasul-Nya. Guntur Romli, sebagai contoh, seringkali hanya menyebut “Muhammad”, tanpa pernah menyebut Nabi atau Rasulullah, apalagi sampai repot-repot menyebut shallallaahu alaihi wa sallam.

Untuk kebiasaan yang satu ini, mereka tidak hanya membolehkan atau
menganjurkan, namun justru mewajibkannya (contoh kasus di UIN). Ironisnya, mereka pula yang memaksa MUI dan seluruh umat Islam untuk bersikap toleran terhadap aliran-aliran sesat seperti aliran Salamullah (Lia Eden), Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dan Ahmadiyah, dengan alasan : agama adalah soal keyakinan, dan karenanya relatif dan tak bisa dipaksakan.

Jika memang benar agama adalah soal keyakinan, mengapa umat Islam tak boleh mempertahankan keyakinannya dalam makalah-makalah yang dibuatnya?
Mengapa kita tak boleh menyebut “Nabi Muhammad saw.” hanya karena
orang-orang Non-Muslim tidak mengakui beliau sebagai Nabi dan tidak pula ber-shalawat atas beliau?

Kita perlu melakukan refleksi ulang kepada tujuan awal pendirian UIN
(dulu IAIN). Ust. Adian Husaini telah memaparkan keprihatinannya secara panjang lebar dalam artikel “Tujuan Didirikannya IAIN” perihal betapa melencengnya arah perjuangan UIN kini dari tujuan pendirian IAIN dahulu. Awalnya, IAIN didirikan untuk memperjuangkan Islam.

Sepuluh-dua puluh tahun ke depan, apa yang bisa diharapkan dari kampus-kampus yang dipenuhi dengan pemikiran inferior? Â Perjuangan macam apa yang bias mereka hasilkan? Â Bagaimana mereka akan membela Islam, sementara mempertegas keyakinannya di hadapan umat Non-Muslim pun mereka tak bernyali?

Menilik tujuan awal pendirian IAIN (yaitu untuk membela Islam), maka semua karya tulis ilmiah yang dihasilkannya, baik makalah, skripsi, tesis dan disertasi, seharusnya memang ditujukan untuk membela keyakinan Islam..

Tidak perlu hirau dengan pendapat orang, karena istilah “membela Islam sudah menjelaskan adanya perbedaan pendapat yang terjadi antara orang-orang Islam dan Non-Muslim, sekaligus menjelaskan sikap kita dalam perbedaan pendapat tersebut. Sungguh aneh jika frase membela Islam kemudian diterjemahkan dalam sikap ragu-ragu, malu-malu, bahkan takut dalam menyatakan pendirian keyakinannya sendiri.

Republik Indonesia yang kita cintai ini tak pernah lahir dari orang-orang yang takut menyatakan pendiriannya. Para pendiri negara secara
sepihak memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia tanpa
bertanya-tanya dulu pada Jepang, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, atau PBB..

Kita yakin kita pantas merdeka, dan karena itu kita memerdekakan diri
kita sendiri. Jika para dosen UIN begitu takut mempertunjukkan keyakinannya pada Islam, mungkin sudah saatnya mereka mempertanyakan keislamannya sendiri.
***
sumber :
http://akmal. multiply. com/journal/ item/698

Tidak ada komentar: