Jumat, 26 Desember 2008

BHP dan Peran Serta Masyarakat

Oleh : Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma

ADA mainan baru bagi para praktisi dan pemerhati pendidikan di
Indonesia, namanya badan hukum pendidikan (BHP). Kontroversi soal BHP
mencuat ketika DPR mengesahkan RUU BHP minggu lalu, dan sebagian
mahasiswa meresponsnya dengan cara biasa: demonstrasi, bahkan hingga
ke Gedung DPR. Di Makassar kegaduhan soal BHP diperparah aksi saling
lempar dan saling sikut antara polisi dan mahasiswa. Argumentasi
sederhana yang menggerakkan demonstrasi mahasiswa dan penolakan
terhadap RUU BHP dari para pengamat pendidikan adalah bahwa BHP kelak
akan membuat pendidikan menjadi mahal serta melepaskan tanggung jawab
pemerintah untuk memberikan pendidikan gratis kepada masyarakat.
Pertanyaan sederhananya adalah benarkah sebuah produk undang-undang
yang akan dibuat oleh pemerintah dan DPR membuat mereka lalai dan
menyengsarakan rakyatnya?
Sebagai sebuah konsep yang cukup penting bagi upaya reformasi bidang
pendidikan di Tanah Air, rancangan undang-undang BHP sebenarnya
merupakan kelanjutan dari amar Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal tersebut dinyatakan agar
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan.
Ketentuan tentang badan hukum pendidikan itu akan ditetapkan dengan
undang-undang tersendiri.
Secara konseptual tujuan RUU BHP sebagai sarana untuk meningkatkan
peran serta dan partisipasi masyarakat memang cukup ideal. Bahkan dari
aspek pemberdayaan masyarakat, RUU BHP merupakan semacam revolusi
diam-diam dari pemerintah untuk memberikan kembali beban tanggung
jawab pendidikan kepada masyarakat. Karena seperti masa lalu, peran
dan kontrol masyarakat terhadap pendidikan lumayan baik. Hal itu dapat
ditunjukkan dengan tingginya minat masyarakat untuk aktif terlibat
dalam sebuah proses keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Namun, pasca-Instruksi Presiden SDN Nomor 10 Tahun 1973, pemerintah
secara terstruktur serta perlahan tapi pasti mulai mengambil alih
kepemilikan sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik
pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratis dan sentralistis.
Itulah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan karena
pemerintah secara jemawa memaksakan kehendaknya membangun sistem
ketergantungan yang mengubah
secara total mentalitas masyarakat untuk selalu meminta kepada
pemerintah.


Bahkan jika dilihat dari aspek tujuan, RUU BHP berpotensi untuk
membuat sebuah kesadaran baru bagi masyarakat agar manajemen
pendidikan kita haruslah dikelola berdasarkan kebutuhan
sekolah/madrasah sebagai bentuk otonomi manajemen pendidikan pada
tingkat kepala sekolah/madrasah dan guru yang dibantu masyarakat.
Selain itu, baik Undang-Undang Sisdiknas maupun RUU BHP dimaksudkan
pula sebagai upaya untuk menghapuskan diskriminasi antara pendidikan
yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat,
serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum, yang
pada akhirnya masyarakat akan memperoleh kepastian hukum dalam
menerima pelayanan pendidikan secara bermutu, tidak diskriminatif,
berprinsip nirlaba, serta masyarakat bersama-sama dengan sekolah dapat
mengelola dana secara mandiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita
pendidikan yang mereka terapkan dalam visi dan misi sekolah. Sekali
lagi pertanyaan sederhananya adalah apakah
pemerintah telah memenuhi kewajibannya dalam membina dan
mengembalikan peran, fungsi, dan tanggung jawab masyarakat terhadap
sekolah/madrasah?

Mengembalikan peran masyarakat
Masyarakat sebagai klien sekaligus konsumen bidang pendidikan dalam
kedua undang-undang belum sepenuhnya dijamin dan diberdayakan
pemerintah. Dari prioritas pembangunan pendidikan, hampir tak ada
program yang secara spesifik menyebutkan program pemberdayaan terhadap
komunitas sekolah apa yang dilakukan pemerintah. Bahkan program
semisal kampanye dan penyadaran tentang pentingnya masyarakat ikut
bertanggung jawab terhadap lingkungan belajar anak-anaknya, minimal
sekolah terdekatnya pun tak dilakukan. Konsep komite sekolah yang
sejauh ini ada sayangnya tidak diteruskan sebuah program yang
berkesinambungan, misalnya pelatihan yang memungkinkan komunitas
sekolah berkontribusi secara ajek dan jelas dalam ikut mengawal proses
pembelajaran di sekolah. Komunitas sekolah melalui komite sekolah saat
ini tak jauh berbeda dengan zaman Orde Baru dengan POMG-nya yang hanya
merupakan kepanjangan tangan pemerintah dan tukang stempel sekolah
untuk mengesahkan
program-program yang rata-rata justru memberatkan masyarakat.


Praktik distribusi dana bantuan operasional sekolah (BOS), misalnya,
meskipun ada keterlibatan komite sekolah, tetapi pada praktiknya di
banyak sekolah peran tersebut sangat lemah karena komunitas tidak
pernah dilatih dan diajak berpikir bersama merumuskan
kebijakan-kebijakan sekolah. Padahal seyogianya masyarakat memiliki
legitimasi dan hak untuk ikut terlibat dalam proses manajemen sekolah
(Dunn, 1998). Keberadaan BHP jangan-jangan juga merupakan alasan
pemerintah untuk melakukan intervensi tambahan terhadap
ketidakberdayaan masyarakat selama ini dalam berhadapan dengan seluruh
kebijakan pengembangan sekolah.
Karena itu, sebaiknya pemerintah merapikan dulu konsep dan eksistensi
komite sekolah di lapangan dengan turun sendiri, paling tidak melalui
bantuan para akademisi di kampus-kampus, untuk melakukan identifikasi
terhadap kemampuan masyarakat dalam berinteraksi dengan sekolah.
Masyarakat harus dilatih dalam sebuah program yang memadai agar mereka
juga menjadi lebih berdaya dan tidak dijadikan bulan-bulanan pihak
sekolah dan otoritas pendidikan. Jika hal itu tak dilakukan, jangan
berharap RUU BHP akan efektif dan efisien karena pasti akan
bermunculan kembali konflik-konflik baru di bidang pendidikan yang
bersifat lokal, persis seperti konflik-konflik yang terjadi dalam
kebijakan pilkada karena hal itu menyangkut ranah hukum. Dengan
demikian, segregasi di masyarakat akan semakin tajam dan proses
pendidikan akan terganggu.
Pentingnya mengembalikan peran masyarakat agar bertanggung jawab
terhadap persoalan pendidikan di tingkat lokal melalui sebuah program
pemberdayaan yang terstruktur dan sistematis adalah tuntutan yang
harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah. Jika masyarakat paham
tentang penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan
sekolah, mengerti meski sedikit tentang performance indicators baik
yang berkaitan dengan siswa dan guru, serta paham tentang arah
pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan baik. Pengetahuan dasar dan
keterampilan tersebut adalah hanya beberapa di antara program yang
harus dilatihkan kepada masyarakat kita (Boyd and Claycomb, 1994).
Bahkan ujung dari keterampilan tersebut akan membawa masyarakat kita
cerdas dalam merencanakan pembiayaan pendidikan sehingga masyarakat
tak melulu curiga karena mereka selain dilibatkan, juga paham dan
mengerti hal-hal teknis tersebut.


Karena itu, penting diperhatikan bagaimana seharusnya pemerintah
merencanakan program pemberdayaan komunitas sekolah, paling tidak
sebelum RUU BHP menjadi undang-undang yang siap untuk
diimplementasikan. Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling
tidak mencakup program pemberdayaan orang tua (parent empowerment) dan
kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and
teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian tentang peran
serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan
sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal partnership) merupakan
strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh besar kepada hasil
belajar siswa (Bauch and Goldring, 1998).
Dari program pemberdayaan ini akan muncul kesimpulan, apakah misalnya
sebuah komite sekolah harus dipilih atau ditunjuk otoritas pendidikan.
Jika masyarakat tahu karena diberdayakan melalui sebuah program,
sangat mungkin akan terjadi banyak masalah yang muncul di sekitar
pemilihan dewan tertinggi baik di tingkat sekolah maupun ketika BHP
akan dilaksanakan. Namun, hal itu diharapkan akan menjadi pertanda
bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah. Banyak kasus
ditemukan bahwa semakin demokratis masyarakat dalam merencanakan
kebijakan sekolah maka akan semakin baik kualitas sebuah proses
pendidikan akan berlangsung (Chibulka, 1997; Resnick, 2000).
Selain program pemberdayaan masyarakat, masalah penegakan hukum (law
enforcement) bidang pendidikan harus lebih dipertegas undang-undang.
Jangan sampai jika terjadi penyimpangan terhadap undang-undang
sanksinya menjadi tidak jelas. Banyak sekali contoh pelanggaran hak
konstitusi yang dilakukan pemerintah, tetapi lemah dalam hal penegakan
hukumnya. Misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas disebutkan bahwa
gerakan reformasi menuntut penerapan prinsip bahwa otonomi di tingkat
sekolah akan diberikan seluas-luasnya, tetapi penerapan ujian nasional
(UN) malah mengebiri otonomi tersebut agar mati suri. Karena itu, tak
dapat dibayangkan apa jadinya jika Undang-Undang BHP dijalankan,
tetapi masyarakat tetap tak diberdayakan dan pelanggaran tetap tak
bisa dikenakan kepada pemerintah sebagai pembuat undang-undang.
***

sumber :
http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTE4Nzc=

Tidak ada komentar: